Bima, Harianamanat.com,- Jika kebanyakan masyarakat Bima dewasa ini cenderung menggunakan karpet sebagai alas lantai ketimbang tikar ancaman, lain halnya dengan warga di Kelurahan Nitu Kota Bima . Warga di kelurahan Nitu yang satu ini sudah turun-temurun akrab dengan Tikar yang terbuat dari daun pandan berduri. Tikar anyaman tersebut bermula dari satu keluarga Wai Rejo ( Nenek Abdul Rajak ) yang merupakan penjual rempah asal wawo dan bermukim di Nitu. Kepiawaian Wai rejo dalam membuat tikar anyaman menjadi Keterampilan ini terus diwariskan pada keluarga tersebut hingga kini.
Sumiati, misalnya. Perempuan kelahiran tahun 1970 ini mulai mengakrabi profesi menganyam tikar dan menenun sejak masa sekolah. Kemudian di tahun 1989, dirinya memutuskan untuk menjual tikar-tikarnya itu barter dengan ikan dan beras atau kebutuhan hidup lainnya. karena untuk turun ke Rasa Nae ( Kota Bima ) sangat jauh akibat belum adanya alat transportasi umum.
Ia bercerita, untuk membuat satu tikar butuh waktu tiga hari jika daun pandannya banyak, tetapi jika kurang maka bisa sampai dua mingguan untuk menyelesaikannya.
“Namun, sejak ada listrik masuk ke Nitu ini, kami mulai mencoba mengalihkan untuk menenun saja. Kalaupun membuat anyaman tikar itu hanya untuk keperluan sehari-hari warga sekitar Nitu saja,” ujarnya.
Hingga akhir tahun 1998, penduduk Nitu masih banyak yang membuat tikar, sampai pernah saat itu kepala Desa ( dulu disini desa belum kelurahan ) memutuskan untuk membentuk Kelompok, dengan harapan kelompok kerja bisa membantu usaha tikar dan tenun hasil kerja mereka bisa dijual untuk kebutuhan hidup. Bahkan berharap kelompok tersebut menjadi lebih besar dan menyelesaikan masalah bahan baku tenun dan tikar sekaligus solusi kebutuhan modal usaha. “karena kami hanya bisa menanam pandan di pematang sawah untuk dijadikan pagar kebun. Dan itu sangat membantu kami yang jarang turun ke kota, “ujarnya.
Namun sayang setelah istri kepala desa wafat dan pak kades nya pindah turun ke raba dompu, kelompok kerja tersebut bubar. Dan orang-orangnya pun sudah banyak yang almarhumah, ujarnya.
Kini, Sumiati sekeluarga sudah jarang buat tikar, jikapun ada pandannya mereka alihkan membuat “ Balase “ ( semacam keranjang ) untuk dijadikan penyimpan beras atau garam.
Menurutnya, Tikar pandan itu lebih hangat jika dijadikan alas, apalagi jika digunakan untuk alas tidur diluar rumah saat ronda malam, namun karena saat ini orang tidak lagi menggunakan tikar, jadi perempuan Nitu saat ini mengalihkannya untuk menenun, “Sejak zaman ompu ro wai kita, tikar sudah dibuat dan digunakan untuk banyak hal, terutama saat hajatan. Tetapi karna zaman sudah berubah sudah ada karpet bulu dan lainnya, tikar sudah tidak dibutuhkan masyarakat Kota, jadi kami juga sudah tidak menganyam tikar dan sudah tidak menanan pohon pandan lagi.” ujarnya.
Istri Mantan Ketua PPS Nitu ini menuturkan, bahwa para pengrajin anyaman tikar bisa membuat anyaman-anyaman selain tikar seperti tas, dompet, bakul dan lain sebagainya sebagai ciri khas kelurahan Nitu.namun demikian potensi ini tampaknya belum optimal dikembangkan dan juga ketrampilan ini tampaknya mulai menghadapi tantangan. Karena kenyataanya tidak lagi diminati oleh generasi muda. “ sebagian besar penganyam tikar sudah tidak muda lagi, sedangkan yang remajanya tidak tertarik untuk belajar ktrampilan menganyam,” ujarnya.
Dulu, saat HM.Nur Latif menjadi walikota Bima, sebenarnya Pemkot Bima memiliki pelatih pengrajin anyaman pandan berduri dan dari rumput, yakni seorang guru SMKN Kota Bima. Namun kegiatan pelatihan itu hanya sebentar dan berhenti tidak berkelanjutan setelah Walikota Nur Latif wafat.
Dan saat ini, kemungkinan kerajinan anyaman akan mulai diberdayakan lagi, karena Ketua Dekranasda Kota Hj. Ellya Alwaini sudah pernah datang melihat tikar anyaman warga Nitu yang sudah lama dan lusuh. “ ibu ketua Dekranasda pernah tanya soal anyaman tikar saat datang kesini, karena beliau duduk beralaskan tikar, dan bertanya bahan bakunya didapatkan dari mana. namun untuk tahun ini kami di kelurahan fokus menenun, sedangkan untuk anyaman tikar akan dicarikan kelurahan yang masih banyak menanan pandan berduri,” ujarnya.
Dirinya mengaku bahwa ketrampilan menganyam tikar dan balase diajarkan pula kepada putra putri dan ponakannya. Agar keluarganya memiliki ketrampilan. “ walaupun tidak sekolah tinggi, ( tiga orang putranya hanya tamat SMA dan tidak mau kulaih, hanya bercita-cita jadi TNI saja, red. ) tetapi mereka sudah punya ketrampilan menganyam dan menenun, dan untuk menenun, anak perempuan saya berkongsi dengan temannya di kelurahan oi fo,o,” pungkasnya.(045 )