Majelis Taklim Lingkar Pinggir, Titik Cerah di Antara Konfik Antar desa di Bima

Featured, Headline7302 Dilihat
banner 468x60

Penulis : Sri Nuryanti

banner 336x280

Majelis Taklim berperan penting dalam menangani konflik sosial di masyarakat, terutama melalui pendekatan keagamaan yang menekankan nilai-nilai perdamaian, persaudaraan, dan kasih sayang.

Sebagai lembaga pendidikan nonformal, majelis taklim tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menjadi wadah diskusi dan mediasi bagi warga yang bertikai.

Melalui kajian-kajian keislaman, doa bersama, dan kegiatan sosial, majelis taklim dapat meredakan ketegangan serta membangun kembali hubungan yang harmonis di antara warga yang terlibat konflik.

Seperti di Majelis Taklim Lingkar Pinggir di Desa Kalampa, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Sejak 2022, majelis taklim yang diinisiasi Elis (39) tersebut sebagai mesin penggerak perdamaian di desa yang sempat mengalami konflik antar desa.

Di bawah langit mendung, Elismiati memeriksa sawahnya di Desa Kalampa, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

Petani perempuan itu menunjukkan gabah padi yang memutih, pertanda panen yang tak lagi sempurna.
Ia dan suaminya, Haerudin Parewa (49), sudah menduga bahwa hasil panen kali ini tidak akan sebaik tahun-tahun sebelumnya karena sebelumnya, sawahnya menjadi lokasi bentrok warga.

Tak jauh dari sawahnya, hanya sekitar 100 meter ke arah barat desa, berdiri rumah semi permanen milik Majelis Taklim Lingkar Pinggir.

Sebuah spanduk terbentang di bagian depan bangunan itu.

Rumah yang sederhana ini hanya mampu menampung sekitar 30 warga yang datang untuk mengikuti kegiatan majelis taklim.
“Majelis taklim harus ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjaga generasi muda dari perilaku menyimpang,” ujar Ketua Majelis Taklim Lingkar Pinggir, Elismiati, Senin, 17 Maret 2025.

Sawah Elis berada di dekat perbatasan dengan desa tetangga.

Perbatasan ini kerap menjadi arena bentrokan warga antar desa.

Lokasi sawah memang hanya berjarak lebih kurang 300 meter dari perbatasan kedua kampung.

Walau tak menelan korban jiwa, perang antar kampung menimbulkan konfilk sosial antar warga.
Bentrok Warga, Sawah Porak-poranda
Bentrok antar warga di kawasan tersebut telah berulang kali terjadi.

Sawah Elis, yang berada dekat perbatasan dengan desa tetangga menjadi salah satu korban dari konflik yang berlangsung pada Desember 2024 lalu.

Lahan pertaniannya rusak akibat diinjak-injak dan dijadikan medan pertempuran.

Sebelum insiden tersebut, Elis dan Haerudin bisa mendapatkan panen sekitar 40 hingga 50 karung gabah.
Namun, setelah sawah mereka terkena dampak bentrokan, hasil panennya terus menurun.
“Yang pasti, setelah sawah kami keinjak-injak dan menjadi medan pertempuran antar warga yang bertikai tahun lalu, hasil panen terus menurun,” ujar Haerudin, suami Elismiati.

Bentrok ini tidak hanya merusak lahan pertanian, tetapi juga menghancurkan rumah-rumah warga.

Yanti (39), warga Desa Kalampa, menyaksikan sembilan rumah rusak akibat lemparan batu pada 14 Desember 2024.

Rumahnya sendiri yang berjarak beberapa puluh meter dari lokasi bentrokan mengalami kerusakan parah. “Bagian samping rumah ini hancur akibat lemparan batu,” kata Yanti.

Ia mengenang, situasi saat itu begitu mencekam.
Anak-anak menangis ketakutan, sementara di jalanan, sekelompok pemuda membawa senjata api rakitan serta busur panah.

Lumbung-lumbung padi dibakar, sepeda motor dirusak, dan aparat keamanan baru tiba beberapa waktu setelah bentrok pecah.

Yanti bercerita kala itu ia tak berani keluar rumah untuk memetik daun sayuran di kebun kecil samping rumahnya, yang ditanami berbagai sayuran seperti cabai, bayam, dan kelor.

Trauma itu muncul karena Yanti dan suaminya pernah terjebak di tengah sawah akibat konflik antar warga
Suasana sempat tegang, tetapi tak lama kemudian aparat kepolisian datang dengan dua truk.
Namun kini kondisi tersebut sudah tidak ada lagi.
Bahkan, ia merasa sudah bebas pergi ke mana saja.
“Sekarang situasi sudah sangat aman, tidak ada pertikaian lagi,” tutur Yanti.

MAJELIS TAKLIM SEBAGAI PENGGERAK PERDAMAIAN

Di tengah situasi mencekam, Majelis Taklim Lingkar Pinggir berupaya mengambil peran dalam menciptakan perdamaian.

Ketua Majelis, Elismiati, menyebutkan bahwa lembaganya telah melakukan investigasi terkait dampak ekonomi dan sosial akibat bentrokan tersebut.

Ia menegaskan bahwa konflik ini mengancam sektor pertanian sebagai penopang ekonomi desa.

Menurutnya saat kejadian, sejumlah titik lokasi mulai rusak akibat diinjak-injak warga.
Sampah pun menumpuk di petak-petak sawah milik Elis.

Elismiati mengatakan terdapat ratusan hektare lahan pertanian di perbatasan desa.

Sebelumnya, meskipun terjadi bentrokan antar warga, dampaknya tidak separah ini.

Beberapa kali bentrokan terjadi, tetapi hanya sampai pematang besar sawah yang ada di perbatasan jarak yang berjalan 300 meter dari rumah Elismiati.

Namun dibentrok terakhir, sawah warga pun rusak.
“Kerusakan ini akan lebih parah jika tidak dicegah,” ujarnya.

Elismiati, menjelaskan bahwa bentrokan antara warga menyebabkan hilangnya fungsi pertanian sebagai kawasan penopang ekonomi desa.

Mata pencarian petani pun ikut terancam.
“Perkelahian dan pembakaran lumbung di sawah saat bentrok warga merupakan dampak langsung bagi kehidupan masyarakat,” ujarnya.

Elis pun menyarankan agar pertikaian antar warga segera dihentikan.

Sebagai pemimpin majelis taklim, Elismiati memegang teguh prinsip persaudaraan sesama Muslim.
Selain itu lewat Majelis Taklim Lingkar Pinggir, Elismiati mendorong setiap individu untuk saling menghormati, menjunjung tinggi kemaslahatan bersama, dan menghindari perpecahan.

Ia percaya bahwa Islam mengajarkan pentingnya saling menghormati dan menghindari perpecahan.
Melalui Majelis Taklim Lingkar Pinggir, ia dan para ibu rumah tangga lainnya aktif menggelar pengajian dan doa bersama, termasuk memanggil tokoh desa yang bertikai untuk bermusyawarah.
“Suka atau tidak suka, perempuan terdampak langsung oleh konflik. Kita sebagai ibu rumah tangga merasakan dampaknya,” kata Elis.

Ia pun yakin bahwa majelis taklim dapat menjadi penyebar “virus perdamaian” di tengah masyarakat.

Menurut Elis, majelis taklim berkumpul di masjid, memanggil tokoh desa yang bertikai, kemudian bershalawat dan beristighfar bersama menggunakan toa masjid.

Kendati masih berjuang, ia tidak membutuhkan banyak kemampuan atau keterampilan, melainkan kemauan, kerja keras, dan keikhlasan yang menjadi kontribusi besar dalam kehidupan sehari-hari.
“Majelis Taklim bisa menjadi penyebar virus
perdamaian,” ujarnya.

SEJARAH dan PERAN MAJELIS TAKLIM LINGKAR PINGGIR

Majelis Taklim Lingkar Pinggir berdiri pada tahun 2022 atas inisiatif Elismiati.

Awalnya, majelis ini hanya diikuti delapan anggota yang berkumpul setiap Jumat untuk mengaji bersama anak-anak mereka.

Namun, kegiatan ini berkembang menjadi wadah pendidikan sosial-keagamaan yang lebih luas.
“Jumat itu hari keluarga karena tidak ada yang ke ladang. Usai salat Jumat, kami mengaji,” kata dia.

“Mengaji itu bukan hanya membaca Al-Qur’an. Mengaji bagi Majelis Taklim Lingkar Pinggir bisa dalam bentuk diskusi atau pendidikan lainnya. Bahkan, soal kondisi ekonomi keluarga, berbagi tanaman sayur seperti bibit cabai, tomat, serta tanaman obat-obatan juga merupakan bagian dari program mengaji yang menjadi kebiasaan di Majelis Taklim Lingkar Pinggir,” ujar ibu tiga anak ini.

“Kami mengajari anak-anak yatim, penyandang disabilitas, anak-anak yang putus sekolah, serta mereka yang pernah menjadi pelaku ataupun korban dalam konflik antar-kampung,” ujar alumni Universitas Mbojo ini.

Tujuan utama majelis ini adalah sebagai wadah pendidikan bagi anak-anak dan perempuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan pentingnya mempererat hubungan sosial-keagamaan yang harmonis dan sejuk.

Majelis taklim ini juga mengembangkan program pemberdayaan ekonomi, seperti koperasi perempuan yang kini memiliki 25 anggota.
“Dengan turut bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi umat, MTLP telah membantu memaksimalkan potensi ekonomi umat Islam agar bisa mandiri secara ekonomi serta terhindar dari jerat kemiskinan,” kata dia.

Ia berharap dengan kegiatan tersebut, perempuan di sekitar desa tersebut menjadi berdaya.

Harapannya bila organisasi ini bisa mandiri, maka aktivitasnya akan semakin maksimal untuk kepentingan umat, bangsa, dan negara serta menyelamatkan generasi mendatang dari perilaku menyimpang seperti narkoba, tawuran, dan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum maupun adat ketimuran.

“Itu bisa dilakukan jika Majelis Taklim Lingkar Pinggir mandiri, kuat, dan mampu berkolaborasi secara positif dengan berbagai pihak terkait,” ujarnya.

Keberadaan Majelis Taklim di tengah masyarakat bertujuan untuk mendidik dan mencerdaskan kehidupan berbangsa, meskipun tanpa digaji oleh pemerintah.
“Kami tetap melaksanakan amanah dan berbakti pada umat, bangsa, dan negara,” tuturnya.

Menurutnya, besarnya kekuatan ekonomi petani Muslim menjadi modal utama. “Potensi tersebut harus direalisasikan, sehingga tidak hanya berakhir di atas kertas saja,” ujar dia.

DUKUNGAN PEMERINTAH dan TOKOH MASYARAKAT

Keberadaan Majelis Taklim Lingkar Pinggir mendapat perhatian dari pemerintah dan tokoh masyarakat.

Kepala Desa Kalampa, Abdul Haris, menyatakan bahwa pemerintah akan berkoordinasi dalam menyelesaikan konflik antarwarga.
“Kami akan selalu berupaya menjaga perdamaian dan memperbaiki fasilitas umum serta rumah warga yang terdampak,” ujarnya, Kamis, 20 Maret 2025.

Menurut Haris, pemerintah daerah akan memperbaiki seluruh fasilitas umum serta rumah warga yang terdampak konflik, bahkan memberikan bantuan.

“Kami akan memberikan dana tanggung jawab sosial dan sejumlah program lain,” ujarnya.

Menanggapi berbagai permasalahan yang diungkapkan, ia mengatakan bahwa Majelis Taklim Lingkar Pinggir merupakan organisasi yang aktif di tengah masyarakat dan peduli terhadap berbagai persoalan.

Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah membantu dan memfasilitasi keberadaannya.
“Organisasi ini telah banyak menunjukkan kepeduliannya kepada masyarakat, bangsa, dan negara, seperti mencerdaskan kehidupan umat dan menjauhkan mereka dari perilaku menyimpang seperti radikalisme, terorisme, narkoba dan masalah sosial di masyarakat.” tuturnya.

Ia mengingatkan agar para ibu yang aktif mengikuti pengajian tidak disalahpahami dengan framing terkait konflik.

Sebaliknya, lebih bijak jika potensi besar kaum ibu yang aktif di pengajian dimanfaatkan untuk bekerja sama dengan pemerintah guna menurunkan ketegangan di masyarakat dan menangani kasus-kasus lainnya.

Misalnya, melalui sosialisasi serta kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan keluarga dan kebutuhan anak dalam bidang pendidikan serta pekerjaan.

Kegiatan majelis taklim yang masif di kalangan ibu-ibu justru memiliki potensi besar untuk mendukung keberhasilan sosialisasi.

Salah satunya adalah penguatan program perlindungan sosial, pemberdayaan perempuan, serta perlindungan anak di Kementerian PPPA.

Sementara itu Kepala Bagian Humas Pemkab Bima, Yan Suryadin, menambahkan bahwa pemerintah daerah sedang menginvestigasi penyebab konflik dan mencari solusi bersama aparat keamanan.

Termasuk upaya perbaikan lahan pertanian dan rehabilitasi sosial.

Pemerintah juga tidak menampik bahwa terjadi penurunan hasil panen akibat konflik antardesa.
“Pemerintah berupaya mencari solusi terbaik demi kepentingan masyarakat,” katanya.

“Kami berupaya menanggulangi dampak konflik, termasuk dalam sektor pertanian,” tambah dia.

Pengamat sosial di Bima, Rangga Babuju, menyatakan bahwa pada umumnya konflik terjadi akibat perbedaan pendapat, ucapan, dan perbuatan.

Konflik sosial mewarnai komunikasi dalam berbagai aspek interaksi manusia serta struktur sosial, bahkan dapat berujung pada perang terbuka.

Salah satu pemicunya adalah menjadikan masalah kecil sebagai alasan untuk menciptakan konflik.

“Seperti menutup jalan yang akhirnya memicu konflik besar.
Inilah kondisi yang terjadi di Bima akhir-akhir ini,” ujarnya pada Jumat, 21 Maret 2025.

“Ini merupakan akumulasi perasaan tersembunyi yang mendorong seseorang untuk berperilaku berlawanan dengan orang lain sehingga terjadi konflik,” katanya.

Tokoh adat masyarakat Dadibou, Hasan Adat, mengatakan bahwa peran majelis taklim dalam menyelesaikan konflik bisa sangat besar, terutama sebagai mediator dalam mendamaikan pihak yang berseteru.

Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti ketokohan seorang pemimpin majelis taklim maupun seorang ulama yang memiliki pengaruh besar dalam menyelesaikan konflik.

“Tentu ada hambatan dan tantangan tersendiri, seperti cara berkomunikasi,” ujar pria berusia 63 tahun ini.

Menurutnya, penggunaan politik identitas sebagai alat politik dapat menyebabkan konflik dan kesalahpahaman.

Selain itu, kurangnya sumber daya dan dukungan juga menjadi kendala dalam mengimplementasikan pendekatan agama dalam resolusi konflik.

Mekanisme yang dapat dilakukan dalam upaya perdamaian meliputi penyadaran masyarakat terhadap dampak yang dihasilkan dari konflik serta peningkatan perhatian pemerintah dalam mengatasi persoalan yang terjadi di masyarakat.

Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bima, KH Abdurahim Haris, MA, menegaskan bahwa tokoh agama dan majelis taklim bisa menjadi mediator konflik.
“Masyarakat Bima mayoritas Muslim, sehingga pendekatan agama efektif dalam menyelesaikan konflik,” tuturnya.

Ia menekankan bahwa peningkatan kapasitas majelis taklim sangat penting agar mereka lebih efektif dalam menjalankan peran sebagai agen perdamaian di masyarakat.

Di tengah dinamika sosial yang kerap diwarnai konflik, Majelis Taklim Lingkar Pinggir menunjukkan bahwa peran perempuan dalam menjaga perdamaian sangat signifikan.

Dengan semangat keikhlasan dan kerja keras, mereka tidak hanya mendidik masyarakat dalam aspek keagamaan, tetapi juga menjadi pilar dalam upaya perdamaian dan pemberdayaan ekonomi.

“Jika Majelis Taklim Lingkar Pinggir bisa mandiri dan kuat, maka kontribusinya bagi umat, bangsa, dan negara akan semakin besar,” ujar Elismiati.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *