NEWMONT
WAKTU BERLALU. Tahun 2008 Newmont Nusa Tenggara sudah lebih dua puluh tahun di Batu Hijau, terhitung sejak disepakatinya kontrak karya 2 Desember 1986.
Geruwak bumi laksana kawah makin dalam dan lebar di sana ketika—sesuai kontrak karya—kepemilikan Newmont Nusa Tenggara harus rampung didivestasikan sebesar minimal angka mayoritas (51 persen) kepada entitas Indonesia. Maka NNT tinggal harus mengalihkan sisa 31 persen. Anda sudah tahu, dalam genggaman Merukh sudah ada 20 persen.
Sesuai aturan kontrak karya, pemegang saham lokal yang sudah ada dalam perusahaanlah yang berhak pertama untuk mengambil alih sisa 31% divestasi tersebut. Merukh meminta hak itu. Mitra asing pemegang saham menampik. Merukh tak bisa memaksa lantaran ada data bahwa sebelumnya ia telah mengkonversi hak opsi
tersebut dengan sejumlah dana yang sudah diterimanya jauh waktu sebelumnya.
Sampai beberapa kali pertemuan sembari makan sushi dan sashimi bersamanya, Merukh tak pernah bersedia menanggapi lebih dari senyum bila disinggung bahwa saham 20% atas nama perusahaannya sebagiannya adalah titipan figur di balik kekuasaan masa lalu yang telah membantunya memuluskan semua penguasaan konsesi mineral ke dalam genggamannya. Sulit membayangkan uang dan kekuasaan bisa merenggang.
Desas desus itu berlandas pada desas desus pula bahwa sesungguhnya Merukh tidak menerima deviden dari NNT.
“Tidak semua hal harus mati-matian dibantah. Teladani Presiden Gus Dur, orang-orang memfitnah mencoba merusak namanya, tapi beliau tidak minta dibantah, tak pernah minta dibela. Beliau sendiri cuek saja. Pohon besar pasti selalu dihempas badai.”
Sementara itu saham 31 persen sudah banyak pihak mengincernya. Semua gencar melakukan lobi tingkat dewa. Pemerintah Pusat menetapkan, 24% dari 31% itu menjadi hak gabungan Pemda NTB, Pemda Sumbawa Barat dan Pemda Sumbawa untuk membayarnya.
Artinya, swasta yang berminat mesti berada di dalam entitas baru yang dibentuk tiga pemda itu. Senior saya Surya Paloh juga berkehendak membantu mengingat saham divestasi harus dibayar. Bukan hibah. Bersama sahabat saya, pereli dan pengusaha Ivan Yusrizal Gading—anak kakak sulung Bang SP, kami mempertemukan beliau dengan Gubernur TGB. Dalam suasana khidmat dan saling menghormati, pertemuan itu berlangsung sebelum tengah hari di ruang kerja Bang SP yang jembar di Gedung Prioritas, Gondangdia, Jakarta.
Mengapa tidak menjamu di tempat biasa Bang SP mengobrol
dan bersantap, di Oasis Jalan Raden Saleh atau resto Kari India, persis di mulut Jalan Sumenep, Menteng, di belakang Hotel Mandarin?
“Kita hormati Gubernur TGB. Beliau ulama,” ujar Bang SP.
Namun ternyata pihak lain sudah berjalan jauh menggandeng Pemda NTB, Pemda KSB maupun Pemda Sumbawa. Grup Media yang sedang menambang mineral di Aceh dan sedang bersiap-siap memompa minyak dari sumur di Blok Cepu, harus legowo tidak turut serta bermain di Batu Hijau.
Sementara proses divestasi bertahap itu berjalan antara wakil para pemilik saham NNT dengan perusahan patungan swasta nasional dengan gabungan tiga BUMD, mitra asing dalam NNT makin khawatir kehilangan kendali bila total 51 persen di tangan entitas Indonesia. Posisi Merukh, sebagai sahabat lama sejak di Wall Street, menjadi kembali penting. Lantas, laksana di lantai bursa, terjadilah hat-trick itu. Mendadak, sekonyong-konyong, 2,2 persen saham Pukuafu Indah (Merukh) beralih kepemilikan kepada entitas baru yang tiba-tiba muncul.
Berikutnya divestasi kepada perusahaan patungan BUMD dengan swasta nasional pun akhirnya rampung 24%. Masih menggantung 7% saham bagian dari total kewajiban divestasi 31%.
Bila pun divestasi tuntas 31%, maka skenario komposisinya menjadi 49% gabungan para mitra asing, 2,2% entitas yang mendadak nongol tadi, 7% entah pemerintah pusat entah pemerintah daerah nantinya, lalu tiga pemda yang diwakili perusahaan patungan antara gabungan tiga BUMD dengan swasta nasional sebesar 24%, dan Pukuafu Indah (Merukh) tinggal 17,8%. Lantas siapa pengendali? Cukup dengan menggabung kepemilikan saham 49% dengan
kepemilikan saham 2,2%, maka dialah pemegang saham pengendali.
Siapa pemilik saham 2,2% yang sangat menentukan ini? Di atas kertas, legal formal, adalah PT Indonesia Masbaga Investama.
Dirutnya, Nusantara Suria Atmadja. Salah satu komisarisnya adalah Kosim Gandataruna, Dirjen Pertambangan pada era Orde Baru. Siapa dibaliknya? Ketika transaksi alih saham ini terjadi 25 juni 2010, Dirut NNT Martiono mengaku hadir menyaksikan penandatangan oleh Rudolf (Rudi) Merukh dan pihak Masbaga. Pembayaran alih saham 2,2% senilai US$ 71,3 juta atau Rp 641 miliar itu ditengarai sebagai penghapusan hutang dividen hak saham 2,2% di waktu sebelumnya.
Martiono membenarkan, Newmont Ventures Limited (NVL) memberi pinjaman kepada Masbaga untuk membeli saham Pukuafu di NNT. Ringkasnya, Anda sudah tahu, ada udang dibalik Masbaga yang membayar.