Sumbawa dan Selangor serta Lelaki Tua dari Laut oleh Muchlis Dj.Tolomundu (9)

Serba-Serbi153 Dilihat
banner 468x60


*Lelaki Tua dari Laut
SAYA TERINGAT Pak Daeng, 65 tahun. Sudah berpuluh tahun hidup dengan bermodal satu sampan semang menangkap ikan di alam sekeliling tempat hidupnya di tepi Pantai Labuhan. Lalu pindah ke Pantai Ai Bari di utara-
timurlaut kota Sumbawa Besar. Istri dan anaknya bertugas mengolah hasil tangkapan menjadi ikan asin.

Saya meluncur ke mulut jalan di sekitar Pasar Seketeng. Melintasi kampung dengan rumah-rumah panggung. Persawahan. Kemudian area tambak yang membentang. Entah dari mana munculnya selintas ingatan, gerangan siapa yang bicara, tentang Dian Pisesha. Pernah terdengar, penyanyi itu adalah ibu dari petak tambak yang berderet deret.

banner 336x280

Rumah Pak Daeng berderet dengan banyak rumah lain. Para nelayan. Dan satu SD Inpres—satu-satunya bangunan tembok di jajaran tepi air itu. Aktifitas warga pada semua rumah itu, di pasir tepi lidah air. Membuat sampan, memarkir sampan, menjemur jala, mengolah dan menjemur ikan. Makan. Juga menerima tamu. Dan ngobrol minum kopi. Di hadapan air yang serupa menghampar hingga sisi selatan Pulau Moyo. Sama dengan para turis di berbagai resort wisata, yang harus mengeluarkan uang berjuta-juta untuk dapat berjemur-diri di atas pasir. Beda dengan gedung SD. Tembok tinggi di atas pasir, tanpa celah seinci pun. Semua pintu klas dan satu-satunya pintu halaman menghadap pada sisi sebaliknya, yaitu gang berbatas tanah tegalan. Murid dari kampung pesisir itu laksana diasingkan, dengan membelakangi lautnya, setidaknya selama belajar setiap hari.

Berperawakan tinggi tegap, tidak tampak ada lemak berlebih di tubuh Pak Daeng. Matahari dan uap garam dari laut membuat kulit sekujur badannya berkilat coklat kehitaman. Tatkala mulai ramai tamu yang datang minta diantar ke Pulau Moyo di depan pelupuknya, ia berpikir lalu bertindak menghadapi perkembangan baru di sekitar hidupnya : membuat sampan baru yang lebih besar. “Sampan
yang ada berbau amis ikan. Untuk tamu yang melancong, mesti yang bisa membuat nyaman saat berlayar,” katanya ketika dulu kali pertama kami bertemu. Sampan untuk pelancong sudah jadi dan telah sering melayan turis.

Kali berikut menemuinya, ia ungkapkan rencana baru yang terdengar masuk akal. Ingin mengubah sebagian pasir pantai yang kosong di samping rumahnya menjadi tempat menginap dan makan para pelancong. Saya ingat tamsil Asrul Sani tentang berkebudayaan : seseorang sedang berjalan, dalam perjalanan kehujanan, kemudian memotong sepelepah daun pisang, lantas kembali melangkah dengan berpayung daun.

Khawatir membuyarkan semangat Pak Daeng menyambut keadaan baru, saya menunda bercerita berkenaan kawasan lain. Khawatir kelak home stay dan rumah makan angan Pak Daeng digusur paksa bila korporasi mengincer area itu. Inisiatif warga diringkus atas nama penataan.
……………..
Di bawah kerak sepatu kamu
tanah akar darah kami
memendam daya hidup kami
Kalian memberangus semua
punah
akar ketapang kelapa pandan
Sampai akar kehidupan kami :
pertautan leluhur kami dengan
tanah di bawah kerak sepatu kamu
(Sajak Tanah Akar Darah)

Kampung Ai Bari bermasa depan cerah mengingat lokasinya yang tak jauh dari kota dan bandara serta destinasi yang dikenal dunia. Kampung pesisir ini berhadapan langsung dengan sisi selatan-baratdaya Pulau Moyo, dibatasi selat yang agak berarus selebar sungai-sungai besar di Kalimantan. Akan menjadi destinasi dan pusat logistik serta distribusi wisata bagi Moyo – Teluk Saleh – Pulau Satonda – Gunung Tambora – Semenanjung Sanggar secara sekaligus.

Bagi semua rangkaian destinasi tersebut, akses ke bandara terdekat adalah Brangbiji. Dari rumah Pak Daeng mencapai Tambora dan Satonda paling lama dua jam dengan speedboat. Saya membayangkan Ai Bari berfungsi seperti Senggigi bagi pertumbuhan keseluruhan area barat laut Pulau Lombok.

Saat Pak Daeng mengungkap rencana home stay tadi adalah perjalanan kali keempat saya menikmati Moyo. Setelah itu, sudah beberapa kali nelayan berkakek asal Gowa Makassar ini mengantar saya kembali ke pulau. Atau sekadar memancing ikan lewat tengah malam sampai ke pulau-pulau kecil di dalam Teluk Saleh. Pernah dalam malam merapat di Pulau Liang dan Pulau Ngali. Salah satunya, menurut Pak Daeng, menjadi tempat melepas dan merumput ternak milik Pak Langkang.

“Malam ini tidak ada bulan. Gulita. Semua hitam. Kita bisa nyasar terbawa arus,” keluh sahabat Sigit Wratsongko, yang lebih akrab dengan hutan, suatu malam lama silam, saat hendak melaut.

“Pak, kalau terang bulan sulit dapat ikan ….. Bintang Utara tidak pernah ke mana. Di tempatnya kekal. Di laut biar gelap, cukup asal ada bintang di langit,” sergah Pak Daeng.

Seorang orang hutan dan seorang yang lain orang pesisir teluk—tempat air tiada bergolak jadi gelombang, cuma bisa meringis.

Mungkin merasa Sigit masih ragu, orang tua itu agak bersungut. “Kenapa takut arus? Arus, ombak, gelombang, ikan, semua itu isi pekarangan kami. Laut itu halaman. Rumah ini, di pasir tepi air. Jadi, ikut saja arus. Cepat sampai. Kalau tujuan kita arahnya lawan arus, gergaji saja. Kan isi pekarangan.”
Sigit tertawa. Panjang . Saya pun tertawa.

“Kalau pohon, bisa kita gergaji,” kata orang hutan. Masih dalam tawa.

“Eh, pak. Sampan itu,” ujar Pak Daeng dengan kepala bergerak mendongak dan bibir dimanyunkan ke arah yang sama: sampan-ikannya,
“bisa bergerak silang seperti alur mata gergaji. Itu cara berkawan dengan arus dan gelombang.” Asap kretek Pak Daeng lalu mengepul di depan wajah kami.
Lantas, … Ya, ayo melaut.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *