PADA SUATU Jumat, satu atau mungkin dua pekan setelah peristiwa diberangusnya papan kampanye. Seperti biasa, di masjid ramai orang yang akan beribadah Jumat.. Meluber sampai ke koridor timur masjid raya.
Khutbah sedang berjalan tatkala insiden itu mendadak muncul. Aku terpana. Beberapa orang beseragam lengkap dengan sepatunya merangsek masuk dari koridor timur. Melangkahi dengan kasar jamaah yang sedang bersila menyimak khutbah. Aku sempat bereaksi ingin tahu. Kutegakan tubuhku dengan menumpukan dua dengkul di lantai bersajadah. Secepat itu pula reaksi tangan Ayah menyentak lenganku. Menggamitku agar bersila kembali.
Sampai di depan mimbar, para penyerbu dadakan mengurung khatib yg seketika itu lalu menghentikan khutbah. Berlangsung ringkas dan cepat, khatib disorong keluar melalui pintu darurat sempit di belakang mimbar. Entah ke mana mereka membawa khatib. Empat orang berseragam berlompatan menyusul keluar melalui beberapa jendela pada dinding barat masjid, di depan saf pertama.
Ibadah Jumat terganggu hanya sekejap. Sekejap saja. Begitu khatib ditarik turun dari mimbar, muazim langsung sigap berdiri dan melantunkan bacaan standar penanda jeda antara selesainya inti khotbah dengan penutup. Sesudahnya muazim itu juga yang sekaligus membacakan penutup khutbah.
Seakan tak terjadi gangguan apapun, ibadah Jumat hari itu berlanjut dengan azan.
Kemudian Om Imam memimpin salat Jumat dua raka’at.
Keriuhan terjadi usai salat. Orang-orang tidak langsung pulang. Mereka bergerombol menjadi banyak kelompok di dalam masjid. Ada yang berdiri, lebih banyak lagi yang belum beranjak. Mereka bersila, juga berselonjor di lantai.
Suara kata-kata yang berlompatan dari banyak kumpulan orang itu menggema di dalam masjid. Menimbulkan dengung di seantero ruang yang ditangkupi kubah utama, persis di bagian tengah atap masjid.
Itu atap bergenting tebal. Pernah kudaki bersama tetanggaku si pendiam Ainul dan Zulkifli yang gemar bicara. Beberapa kali selepas zuhur kami mendakinya sampai pelataran sempit persis di kaki kubah. Hanya untuk pamer cerita pada teman-teman di sekolah.
“Sudah kulihat semua atap rumah sekeliling kota ini sampai ujung teluk di kaki langit,” kata Zul sembari merangkak mundur menuruni atap.
Ainul menyeringai. “Selamat dulu sampai teras lantai dua, baru bicara selangit,” ujarnya dengan nafas ngos-ngosan.
Di sisi pagar rumah di pojok tenggara perempatan, terasa bibirku membuka dan agak tertarik melebar. Mengingat itu, aku tersenyum. Baru terpikir olehku, dengung menggema usai Jumat kemelut 50 tahun silam itu mungkin merayap jauh lebih tinggi dibanding tiga pendaki genting.
Dengung itu berkelindan dalam perut kubah. Lalu menyeruak keluar melalui celah kaki-kaki penyangga mahkota kubah. Di pucuk ketinggian, dengung itu merayapi mahkota, yaitu bintang dan bulan sabit—mengantar semua doa dan kata-kata meraih langit.( Bersambung)