Bima, Harian amanat.com,- Wancuku sarusa na.. ntoi si wi i paki mu rasa..wancu poda ndende lingi na… ba samonto pahu lenga..oru si mai lamba… aina nefa doco limbi..poda mpa ngonco di asa..pala ede rau mpa di osu….kiri mai mu anae..kiri mai mu arie…lingi lingi adeku…lingi diweki mu… rasa ro dana mu lamba…kalalo mu moti ma lembo…wara wali si umu…ngilu wau pu ina ro ama…..( syair lagu Lamba Rasa )
Sebuah syair lagu yang mencerminkan kerinduan dan kecintaan kita akan daerah tercinta Bima ini. Kecamatan Lambitu dengan luas 65,36 km2 terbagi dalam 6 desa yakni desa Kaboro,Sambori,K u t a, T e t a, K a o w a, dan Londu.
Kecamatan Lambitu berada pada jarak 10 km dari ibukota Kabupaten Bima di Woha dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Diantara 6 desa, ada sebuah desa Sambori yang merupakan desa terluas diwilayah tersebut dan dijuluki Desa Diatas Awan karena hutannya yang lebat berselimutkan kabut yang pekat jarang berdampak sinar matahari.
Berbicara Sambori tentu Sambori bukan lagi sebuah desa terisolir, dengan hamparan rumah tradisional yang disebut Uma Lengge, hutan dan tegalan yang hijau pekat, ke khasan itu saat ini sudah tidak ada lagi.
Desa Sambori hanyalah sebuah Desa yang sangat kecil dengan kehidupan yang masih tergolong Tradisional dengan jumlah penduduk 1.878 jiwa dengan jumlah Pemilih 1.256. Masyarakat Sambori rata-rata bekerja sebagai Petani.
Kebiasaan masyarakat Sambori yaitu makan daun sirih karena suhu dan udara di Desa sambori sangat dingin sehingga untuk menghilangkan kedinginan, mereka makan daun sirih yang di campur dengan beberapa ramuan sehingga badan mereka jadi hangat. Dan saat ini kebiasaan itu perlahan pudar seiring hutan hijau dan lebat berangsur gundul dan kecoklatan.
Ada satu keunikan dari masyarakat Desa Sambori yaitu mereka masih mempergunakan bahasa yang lain dari bahasa Bima dan sekitarnya, banyak orang mempunyai anggapan dan persepsi masing-asing bahwa bahasa Sambori adalah bahasa asli Suku Bima atau bahasa nenek moyang, yang hingga sekarang masih dipergunakan oleh masyarakat Desa Sambori.
Empat atau tiga tahun lalu kehidupan masyarakat Desa Sambori masih sederhana, itu tampak dari bentuk dan perabotan yang ada dirumah mereka, masyarakat Desa Sambori bisa dibilang masih tergolong terbelakang mengenai Tekhnologi maupun perkakas untuk keseharian mereka yang berkembang, hingga mereka banyak yang masih menggunakan peralatan dan perkakas yang masih Tradisional, Panci untuk masak mereka masih menggunakan panci yang terbuat dari tanah liat, dan yang lebih menarik lagi di Sambori bila hujan turun mereka tidak menggunakan payung pada umumnya, akan tetapi mereka menggunakan sebuah kulit pohon atau daun Pandan maupun Rotan yang di buat untuk menjadi payung, masyarakat setempat menyebutnya WAKU dan orang Bima mengenalnya dengan nama “LUPE”. Namun Pohon-PohonPandan itu pun perlahan berganti menjadi Jagung.
Menurut Ibu Guru Sri asal Sambori, sambori potensial untuk pengembangan tanaman Bawang Putih, Jeruk , Alphokat, Rambutan, Mangga, Pisang, Sawo, Jambu Batu serta tanaman lainnya. dan beberapa tahun lalu di lereng Sambori terdapat 275 pohon Jeruk, 300 pohon Alpukat, 450 pohon Mangga, 300 pohon kelapa, 200 pohon pinang serta aneka pepohonan lainnya, namun semua itu tinggal kenangan hanya tersisa belasan pohon. Seperti juga Uma Lengge yang hanya ada satu di halaman Rumahnya saja.
Sambori dan Sekitarnya sangat cocok untuk budidaya tanaman-tanaman obat seperti Jahe, Kunyit, Lengkuas, Mengkudu, Temulawak, Kumis Kucing, Kencur, Bangle, Tempuyang dan lain-lain. Tanaman ini disamping tumbuh secara liar di pegunungan Lambitu, juga diupayakan dan dikembangkbiakkan oleh masyarakat. Yang paling banyak dikembangkan warga disamping bawang putih dan padi adalah Kunyit dan Tempuyang.
Sejak dulu, orang-orang Sambori memang terkenal sebagai penjual Kunyit dan Tempuyang dan turun ke Kota Bima.
Cerita kekhasan Sambori inilah yang mengispirasi konsultan Pariwisata NTB Ibu Indrawati, Hj, EKa MS.c. menjadikan Sambori sebagai Pusat Desa Wisata Bima.
Namun kini Sambori yang karena Alam yang Asri dan Asli itu, dan ingin di promisikan sebagai ikon wisata Alamnya berubah dari Hijau Pekat mengukir Kabut berganti coklat menyilaukan matahari. Akhirnya hanya bisa menatap dan bermimpi bahwa suatu hari kelak kehidupan kembali pada kejati dirian kita, bahwa mengejar ketertinggalan dengan menjajakan kemiskinan bukanlah dengan menghancurkan alam disekitar kita.
Bahwa kemiskinan itu hanyalah persepsi, hanyalah anggapan dan cara pandang. Kemiskinan yang hakiki adalah ketika kita tidak mampu menjaga Alam sekitar kita, sebab kita telah kehilangan rasa cinta. ketika cinta hilang, Allah pun tiada kan kita jumpai ( Sri Miranti )