Fairus “Abu macel” Oleh farid el maruf tolomundu

    harianamanat.com

    Tidak banyak birokrat yang unik. Sedikit dari itu adalah Fairus Zabadl. kali pertama berjumpa dengannya, seingat saya 2006 waktu peluncuran buku saya ORANG BIASA YANG TDAK BIASA di mataram.
    Saya waktu itu tak menduga Bang Fairus ini seorang birokrat.Saya baru tahu ia seorang birokrat pada 2010, tatkala namanya disebut Badrul Munir, Wakil Gubernur ketika itu sebagai orang tepat mengendalikan program Kampung Media.

    Satu program unggulan pemerintah NTB yang meraih banyak penghargaan nasional bahkan mengikuti kontestasi inovasi birokrasi tingkat Asia.

    Awalnya saya kira Fairus ini pelaku budaya dan pekerja profesional di bidang seni dan media.
    Apalagi saya kemudian membaca kolomnya aecara cukup teratur di salah satu media terbesar di NTB. Di kolom rutinnya itu ia mengunakan nama Abu Macel. Tulisannya ringan, usil dan juga jenaka.
    sesuatu yang tidak lazim ada pada diri seorang birokrat yang umumnya berfikir formal dan serba teratur.
    Saya kira ia terinspirasi dengan gaya penulisan Mahbub Junaidi,seorang kolomnis terkemuka di Harian KOMPAS era 70 hingga 80-an. Fairus dan Mahbub kebetulan berlatar NU yang kental. Keduanya dibesarkan dan membesarkan nama nahdiyin lebih dari separuh umurnya.

    Saya pernah bertanya pada nya, “bagaimana abang bisa memainkan peran seorang kolomnis sekaligus juga menjadi birokrat? Apalagi kolom kolom abang cukup sering mengkritik mereka yang sedang berkuasa?”
    Kepada saya ia mengatakan bahwa menjadi birokrat tidak seharusnya kehilangan kreatifitas.
    Sekalipun sulit karena iklim yang belum kondusif, ia percaya birokrasi tetaplah dapat melahirkan kreatifitas itu.

    Itulah sebabnya Fairus menjadi sosok birokrat yang unik. Dimana pun ia hertugas, ia berusaha melahirkan satu program kreatif. Dan untuk itu ia cukup piawai membuka jejaring. Baik di level kementerian atau lembaga donor.

    Saya herjunpa terakhir dengannya beberapa bulan silam.

    Suatu malam ia mengundang ketua GELORA NTB bung oji dan saya minum kopi di beranda rumahnya di kawasan Pagutan. Ia meracik sendiri kopi untuk kami. Ia tampak tetap energik dan melontarkan banyak kisah jenaka sepanjang tiga jam pertemuan kami itu.
    Saat itu ia baru saja purna tugas setelah 35 tahun lebih mengabdikan diiri dan hidupnya sebagai pegawai negeri. Ia menyatakan pada kami bahwa ia sedang asyik menikmati masa pensiunnya.

    Fairus layak kita kenang sebagai manusia merdeka yang dengan bebas dan jenaka melontarkan pikiran dan kegundahannya.

    Saya pun percaya ia menghadap kepada Tuhannya dengan riang dan gembira. Ia pasti punya dosa, tapi kita yang mengenalnya pasti memberinya maaf dan doa.

    Selamat jalan bang Fairus. Bergembiralah abang di alam sana.