harianamanat.com
Orang Arab yang lahir, besar dan berdomisili di Bima(Kota dan Kabupaten) secara khusus maupun di NTB secara umum, yang kita tahu adalah kebanyakan menjadi pedagang. Sama seperti orang Tiong Hoa, yang juga kita tahu, mayoritas mereka lebih banyak menggeluti dunia perdagangan. Orang Arab dan Orang Tionghoa, banyak yang berhasil dan menjadi pengusaha yang sukses.
Orang Tiong Hoa yang lahir dan besar di Bima, hampir tidak pernah ada yang menjadi pegawai pemerintah maupun politisi. Penyebab dari tidak diberinya ruang oleh pemerintah pusat, saat orde lama maupun orde baru, adalah terkait dengan asas kewarganegaraan yang dianut oleh keturunan Tionghoa. Orang Tionghoa zaman dulu, menganut asas kewarganegaraan Ius Sanguinis, yang kewargaan negaraannya berdasarkan keturunan. Sedangkan Orang Arab, yang menganut asas Ius Soli, asas kewarganegaraannya berdasarkan tempat lahir, masih diberi kebebasan dan kesempatan berkiprah menjadi birokrat pemerintah, Tentara, Polisi maupun politisi.
Tapi setelah era reformasi dan era Presiden KH. Abdurrahman Wahid, masalah asas kewarganegaraan itu dihapus semua. Dan Orang Tionghoa pun telah muncul beberapa nama yang menjadi tokoh politik nasional. Tentu anda sudah ketahui semua. Sedangkan tokoh Tionghoa lokal Bima maupun NTB., hingga kini belum ada yang muncul.
Dikalangan Arab Bima, ada beberapa nama Tokoh Arab senior yang kita kenal seperti H. Abubakar Muhdi, politisi Partai Golkar, Bapak Prof. Dr. Irjen Pol. Anumerta. Farouk Muhammad, anggota DPD RI serta politisi Gerindra Khalid Bin Walid yang menjadi legislator di DPRD Kota Bima utusan dari Dapil III Kecamatan Asakota.
Baru baru ini, yang cukup mengagetkan, adalah mencuatnya sosok wanita cantik keturunan Arab yang bernama Hajjah Elly Alwaini. Isteri dari H. Muhammad Lutfi, SE., walikota Bima, yang photonya diposting oleh seorang netizen di laman Facebook, sebagai salah satu bakal calon anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) periode 2024 -2029, yang akan mewakili daerah Nusa Tenggara Barat.
Wanita nomor satu di Kota Bima ini, relatif baru dalam dunia politik. Beliau pun terseret keranah politik karena faktor suami yang adalah seorang politisi kawakan dari Partai Golkar.
Merasakan nikmatnya euforia dan gegap gempita politik, karena mau tidak mau harus mendukung sang suami yang maju mencalonkan diri dalam pilkada kota Bima, dan akhirnya memenangkan pertarungan. Selanjutnya merasakan sensasi mendampingi orang nomor satu disuatu daerah otonomi, yang relatif memiliki kekuasaan yang begitu dominan.
Pengalaman suasana serta euforia politik yang relatif singkat, mungkin merupakan “proses metamorfosis” seorang Elly Alwaini, yang akhirnya melahirkan seorang Elly Alwaini yang “baru”, jauh berbeda sebelumnya. Seorang Elly Alwaini yang memmiliki visi dan obsesi serta tekad yang kuat secara pribadi.
Elly Alwaini yang awalnya adalah wanita rumahan, yang relatif pemalu, kini telah berani tampil meyakinkan di depan audience atau undangan dalam acara acara resmi pemerintahan.
Elly menyadari akan kekurangan basic pendidikan atau latar belakang akademiknya, maka sembari berjalannya waktu, Elly terus melengkapi yang akan menjadi persyaratan dalam pencalonannya kelak. Termasuk menjadi mahasiswi di STIE Kota Bima.
Konstitusi negara kita, Pasal 28 UUD 1945, mengatur tentang hak hak setiap warga negara, baik hak dipilih maupun dipilih. Juga memberikan ruang yang seluas luasnya bagi warga negara untuk ikut berperan dalam pemerintahan. Regulasi ini menjadi pintu masuk bagi semua warga negara yang tidak sedang dicabut hak hukumnya. Termasuk bagi seorang Elly Alwaini.
Sistem demokrasi elektasi langsung oleh rakyat, membuka peluang bagi orang orang yang memiliki kemampuan finasial untuk dapat menjadi calon legislator maupun senator. Pola rekruitmen calon legislator oleh partai yang menjadi sarana untuk menjadi legislator pun tidak memiliki persyaratan yang terlalu ketat. Bahkan untuk memenuhi quota dapil untuk calon legislator oleh partai lebih dipermudah. Malah terkesan asal comot oleh partai partai yang relatif baru.
Di pencalonan DPD pun syaratnya juga relatif sama. Tidak terlalu ketat.
Menjadi seorang legislator maupun senator, relatif tidak membutuhkan kecerdasan intelektual(IQ) yang tinggi. Justeru kecerdasan emosional(EQ) dan kecerdasan sosial(SQ) lah yang relatif dibutuhkan. Karena menjadi wakil rakyat atau senator daerah itu hanya dibutuhkan rasa kepedulian yang tinggi (sense of care) pada konstituennya dan daerah yang diwakilknya. Bersuara untuk mereka. Tak ada kerja politik yang berat. Semua kebutuhan telah disediakan oleh sekretaris dewan.
Berangkat dari itu, Elly Alwaini yang memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang baik, juga didukung oleh kemampuan financial, sangat tepat memilih menjadi senator untuk mewakili daerah Nusa Tenggara Barat pada umumnya dan pada Kota Bima, Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu pada.khususnya.
Pilihan Hajjah Elly Alwaini, “memberanikan” diri menjadi calon DPD RI itu adalah dalam rangka membantu memajukan daerahnya. Olehnya demikian, maka perlu masyarakat Bima dan Dompu dukung bersama untuk mengantarkan Hj.Ellya Alwaini meraih kesuksesan.
Dalam periode lima tahun terkahir, periode 2019 – 2024, Bima dan Dompu kehilangan senatornya karena gagalnya almarhum Prof. Dr. Irjen Pol (Anumerta) H. Farouk Muhammad Al Idrus. Dengan majunya Hajjah Elly Alwainy ini, semoga kursi DPD RI itu dapat kita raih kembali. Semoga.(Aji Reso).
Foto :Ranti