HARIAN AMANAT, BIMA.
“Hujan emas dinegeri orang lebih baik hujan batu dinegeri sendiri.”
Hal itulah yang dirasakan oleh kakak beradik Aswad (28) dan Rano (26) warga desa Bugis Kecamatan Sape kabupaten Bima.
Dua tahun menjadi TKI di Korea tidak membuatnya merasa bahagia, kondisi cuaca Korea yang tidak sama dengan kesehariannya di Bima membuat keduanya ingin segera pulang kembali ke kampungnya dan memilih menjadi Nelayan.
” Kalo soal pekerjaan itu sudah biasa, kami senang, namun cuaca yang dingin dan makanannya sulit untuk kami beradaptasi, makanan enak sering lapar makanya kami bisa sedikit gemuk, tapi kami sering sakit karena cuaca yang sangat dingin, akhirnya kami putuskan untuk tidak perpanjang kontrak, kami pulang, harusnya kami bisa perpanjang sampai 4 tahun, tapi kami ambil 2 tahun saja, lebih enak jadi nelayan dikampung,” ujarnya.
saat ini , saat tangan dan sekujur tubuhnya mulai gatal namun itu tidak lagi dirasakan oleh Aswad dan Rano warga Desa Bugis Kecamatan Sape Kabupaten Bima.
Merekapun tidak sempat menyeka bola mata yang terasa perih akibat percikan air laut.
Mereka menjadi nelayan, hasil upah selama kerja di Korea, untuk membayar utang keluarga dan sisanya mereka beli perahu dan peralatan sebagai nelayan.
kedua telapak tangan mungil aswad penuh menggenggam ubur-ubur, dan di sela jarinya terselip kresek merah penuh ubur-ubur.
sementara Rano memegang kresek berisi Lobster.
Kedua jenis hewan laut itu ubur-ubur dan Lobster mereka pindahkan dari perahu ke keranjang.
Mereka harus mengejar target, sebab musim panen lobster , ubur-ubur tahun ini hampir habis.
paling tidak Aswad ayah satu anak ini harus mampu mengangkut 5 kg ubur-ubur dan juga lobster.
Setiap mengangkut ubur-ubur dari perahu ke pencucian yang berjarak 10 m itu akan merogoh saku hampir Rp.50 ribu.
Untuk menghemat biaya mereka harus bekerja sendiri.
Karenanya Aswad dan Rano berbagi peran.
Masa Panen ubur-ubur dan Lobster hasil tangkapan merupakan kesempatan mendapatkan uang tambahan untuk menopang ekonomi keluarga.
tidak hanya Aswad dan Rano, mayoritas warga bugis yang tidak berpenghasilan tetap memanfaatkan kesempatan musim tangkapan nelayan untuk pergi melaut.
bagi warga masyarakat bugis menangkap ikan, menangkap lobster dan ubur-ubur saat ini memiliki nilai ekonomi tinggi.
karena disamping bisa dikonsumsi dan bergizi tinggi. Bahkan bernilai ekspor tinggi.
seperti ubur-ubur hasil tangkapannya, kemudian dicuci dikilang pengilasan, kepala dan kaki ubur-ubur dipisahkan, kemudian direndam dengan air garam dan diaduk selama 4 jam.
ubur-ubur lalu dipindahkan dalam wadah berisi larutan garam, taburan soda untuk membuang kotorannya. proses perendaman dilakukan selama tiga hari
lalu dikeringkan.
ubur-ubur yang sudah kering kemudian dilipat dan dikemas di dalam ember. ubur-ubur yang telah dikemas kemudian dijual ke agen besar di Kecamatan Sape.
” kami jual ke sana dengan harga Rp.25 ribu per kg, sementara untuk hasil tangkapan lobster kami menjualnya langsung kepada para pemilik hotel dan juga Kafe yang ada di sekitar Sape dan Lambu,” ujar Rano.
Untuk ubur-ubur saat ini biasanya dari agen besar ubur-ubur lalu diekspor ke luar negeri, antara lain ke malaysia singapura dan thailand.
Warga Desa Bugis dan juga Bajo Pulo sudah mengetahui nilai ekonomis ubur-ubur sejak tahun 2015.
Namun saat itu belum terlalu seperti sekarang ini.
Saat itu perusahaan yang menampung ubur-ubur dari nelayan. tetapi sejak 2018 warga mulai membuat kilang pengemasan sendiri di rumah masing-masing.
Saat ini ada dua kilang pengemasan di desa bugis.
bisnis ini melibatkan puluhan warga yang bertugas sebagai pengait ubur-ubur, tukang pikul, petugas pengemasan hingga staf administrasi.
Menurut Rano, musim ubur-ubur juga lobster hanya terjadi sekitar 1hungga 2 bulan dalam satu tahun, yakni antara permulaan Februari hingga awal april.
Setelah musim Ubur-ubur dan Lobster berakhir, warga kembali berkebun dan mencari ikan seperti biasa.
Beruntung tahun ini panen besar ubur-ubur dan Lobster.
Sehingga perahunya dapat menampung sekitar 300 ekor ubur-ubur per hari. Juga bisa dapat puluhan lobster.
” Alhamdulillah, tahun ini bisa dapat Rp.1 juta/hari, yah bisa membuat orang tua dan istri tersenyum, maklum mereka sangat berharap kami kerja di Korea, tapi kami pulang sebelum kontrak selesai, dan itu membuat mereka sedikit kecewa, dengan usaha nelayan ini, semoga kami bisa membuat mereka bahagia kembali,” ungkap Aswad bersama adiknya Rano.
Aswad bercerita selama 2 tahun di Korea mereka bisa menghasilkan Rp.9 hingga Rp.15 juta/bulan bersih. Belum terhitung lembur.
Namun mereka tidak betah karena cuaca yang dingin akhirnya mereka putuskan memperpendek kontrak kerja hanya 2 tahun saja.
Disamping mereka sakit-sakitan.
Untuk menghibur orang tua dan istrinya, Aswad dan Rano setiap hari menjadi Nelayan.
Saat musim Ubur-ubur dan Lobster mereka giat mencarinya.
Selebihnya mereka menjadi nelayan ikan biasa. (Ranti)