Keluhan Petani Bawang dan Saran Pakar

Headline56 Dilihat
banner 468x60

Harianamanat.com, Bima.-
Para petani bawang merah di Bima NTB mengeluhkan harga pupuk non subsidi dan obat obatan pertanian naik. Mereka mengaku rugi lantaran harga pupuk naik, namun harga bawang hasil panen justru terjun bebas.
Perubahan harga pupuk terjadi mulai akhir Agustus. Harganya terus melonjak hingga memasuki bulan November ini.


Salah seorang petani di Kabupaten Bima, Evan ( 35 ) mengatakan, dirinya mengaku rugi besar saat musim tanam ini. Pasalnya, biaya tanam mulai dari bibit, tenaga kerja, pupuk dan obat obatan pertanian, mengalami kenaikkan tajam. Sementara, tanaman bawang merah yang diharapkan bisa menutup biaya tanam, harganya anjlok. Dan hari ini harga Rp.8000 per kilo, ujarnya saat ditemui harianamanat, sabtu 20 november di pematang sawahnya di desa Ngali, Kecamatan Belo Kabupaten Bima.

banner 336x280


“bagaimana tidak rugi, ongkos buruh sekarang mahal, bibit juga mahal. Terus harga pupuk naiknya banyak setiap hari harga pupuk berbeda, sementara bawang panen hanya Rp.5000- 8000. Dapat untungnya dari mana,” keluh evan.


Sementara itu Julius Wati mengatakan, dampak kenaikkan harga pupuk ini memang sangat dirasakan petani. Karena jenis jenis pupuk non subsidi yang mengalami kenaikkan adalah yang banyak dibutuhkan petani bawang seperti pupuk NPK dan lain lainnya.


“Dampaknya memang dirasakan sekali. Karena pupuk non subsidi itu yang banyak dibutuhkan petani bawang merah,” tandas Julius petani asal desa Tolo Uwi kecamatan Monta.


Meningkatnya harga pupuk ini, otomatis menambah biaya tanam yang dikeluarkan. Dia merinci, rata rata biaya tanam bawang merah dengan lahan seluas 1 hektar sebelum ada kenaikkan harga pupuk, sekitar Rp.100 juta. Namun dengan kenaikan pupuk ini naik menjadi Rp.130 juta.

Menurutnya Untuk mendapatkan keuntungan atau minimal kembali modal, jika hasil panen dalam 1 hektar mendapat 10 ton bawang dengan harga jual bawang minimal Rp.14 ribu. Jika hasil panen kurang dari 10 ton maka harga jual bawang harus lebih dari Rp.14 ribu per kilo.
“Sekarang tinggal hitung berapa ruginya. Jelas sangat banyak. Katakanlah 1 hektar dapat 10 ton, maka supaya impas harus dijual Rp.14 ribu. Tinggal hitung saja, harga kemarin Rp.5000 per kilo , silahkan dihitung berapa kerugian kami,” bebernya.

Dari hasil pantauan harianamanat.com, Kenaikan harga pupuk diperkirakan akan terus berlangsung hingga Maret 2022 mendatang, jenis pupuk yang mengalami kenaikkan harga adalah yang mengandung NPK.
Begitu juga dengan obat obatan juga harganya naik, terutama yang mengandung bahan aktif glifosat. Obat obatan ini rata-rata kenaikannya Rp.40- hingga Rp 60 ribu per botol. Dari harga dasar Rp.80 ribu per botol.
Untuk jenis obat obatan yang biasa digunakan untuk membunuh rumput liar dan mengandung glisofat kenaikannya sangat signifikan.
Sehingga petani membeli obat jenis glisofat ini dengan harga Rp.140 ribu per botol.

kenaikan harga pupuk non subsidi adalah yang dibutuhkan tanaman bawang merah. Demikian pula obat-obatannya, juga jenis yang dibutuhkan untuk tanaman bawang.

Jenis pupuknya macam macam. Harganya pun beda beda. Tapi harganya semua naik. Ada yang semula Rp.8000 menjadi Rp.15.000 per kilo. Dan yang dibutuhkan petani untuk satu hektar lahan adalah sebanyak tergantung hara tanah.
Misalnya : 1 hektar tanah memerlukan hara N 50kg maka : ZA100/21 x 50 kg = 238,095 kg/ ha.
TPS = 100/46X 20 kg = 43,48 kg/ha.
KCI = 100/60 x 30kg = 50 kg/ha.


Dinas Pertanian Kab Bima Menempatkan harga Pupuk Subsidi seperti ini :
Urea : Rp 2.250/kg dan Rp. 112.500/ karung.
ZA : Rp. 1.700 / kg dan Rp. 85.000/ karung.
SP-36 : Rp. 2.400/kg dan Rp. 120.000/karung.
Phonska : Rp. 2.300 / kg dan Rp. 115.000/ karung
Petroganik : Rp. 800 / kg dan Rp. 32.000/karung.

Ini SARAN PARA PAKAR EKONOMI

drh.Arsyad Husen: sebaiknya Pemkab Bima kumpulkan para ketua asosiasi atau kelompok tani. BUD, Koperasi juga Dolog.

Karena urusan harga itu mekanisme pasar tidak mungkin bisa ditangani dan diselesaikan dilevel Kabupaten Kota. Itu urusan pusat.

Saat ini sudah ada program korporasi dalam pengembangan pertanian untul cluster sub sektor tertentu. Sehingga urusan hilir terakomodasi dengan baik.
Petani foukus saja dengan budi daya, pemasarannya dan pengolahannya diserahkan para koperasi atau lembaga UMKM atau BUMD.
Hanya saja masalah seperti ini terlihat mudah tetapi sulit diterapkan, karena berkorporasi begini, atau Gapoktan harus berintegritas dan guyub.

Dr Irwan Husen unram : Para petani sebenarnya sudah panen sejak bulan 9 lalu dan bawang sudah kering, sehingga mereka menjual bulan sekarang dengan harapan harga sudah tinggi tetapi faktanya harga terjun bebas.
Hukum ekonomi ketika produksi melimpah harga pasti turun. Nah yang jadi masalah adalah kemana para petani harus memasarkan produknya dalam kondisi seperti ini. Karena jika mengandalkan pasar lokal mustahil mampu merangsang harga, jikapun keluar daerah para pengepul enggan membayar dengan harga tinggi apalagi bersaing dengan produk yang sama dari daerah lain.
Saat ini mereka harus menanggung biaya produksi yang pembayarannya tertunda menunggu harga naik, sisi lain harus mengembalikan utang modal Pinjaman pada lembaga keuangan perbankan maupun non bank
Dan untuk menjula menunda penjualan terlalu lama bagi petani itu sulit, karena kebutuhan dasar mereka untuk terus bekerja akan semakin besar.

H.Jaz Ary : ada beberapa cara yang bisa ditempuh, salah satunya dengan model tata kelola resi gudang, sistim ini bisa sangat membantu. Namun ada beberapa persyaratan yang harus dilakukan.
Ada cara lain juga yang bisa di jadikan pembanding bagi petani bima misalnya dengan menyimpan bawang di gudang dryaer cylo yang suhunya bisa diatur sesuai standar.

M.Nasir, S.Sos. : satu yang membuat petani rugi. Yakni over produksi karena bersamaan dengan produksi di daerah lain. pemerintah pusat impor bawang dari Negara lain.
Lemahnya pemerintah dalam kendali harga saprodi dan harga bawang. Ada baiknya pemkab bima mulai berpikir bahwa bawang merah harus diolah menjadi barang jadi, sehingga petani punya alternative lain dalam me
ngembangkan usahanya.

Dr Firmansyah unram : ketika pasokan melimpah logika hukum pasarnya memang harga turun. Distributor mengenakan harga rendah karena persoalan sistim logistik dan sifatnya mudah rusak, sehingga mau tidak mau petani jual dengan harga murah.
Nah, pemerintah melalui koperasi atau BUMD bisa masuk disini dengan mengelola bawang merah menjadi bawang olahan.
jika pemerintah kita siap, bisa kita contohkan dari pohon indstri pabrik makanan ringan dan sejenisnya yang selalu membutuhkan bawang. Dan itu bawang yang sudah diolah. Artinya bawang mentah itu diolah sehingga jangka penyimpanan akan lama.
Jika mau fokus bawang merah ini bisa menciptakan lapangan kerja dan mengangkat taraf hidup masyarakat. Karean disamping Hasil panen bisa langsung dijual oleh petani.
Pemerintah pun bisa memberdayakan UMKM bahkan BUMD untuk mengelolanya, karena penggunana bawang merah bisa dua sisi yakni langsung di dapur dan pengolahan untuk industri.
Tetapi hal ini butuh konsistensi dan akar permasalahan harus jelas sehingga bisa dibuatkan perencaaan A, B, c dan D.
Untuk itu pemerintan bisa memfasilitasi dengan membuat korporasi yang melibatkan koperasi, atau asosiasi gapoktan yang ada di Bima. Atau bahkan membuat pabrik pengolahan bawang.
Dengan bergitu petani bisa mengontrol dan memenej kebutuhan produksinya.

Aji Dudi :
Mestinya BPS bisa menyediakan informasi seputar berapa kebutuhan dasar bawang merah baik ditiap daerah maupun nasional seperti layaknya bursa efek. Tetapi itu data-data seperti itu terkadang anomaly. Pada saat produiksi turun bisa jadi ekspor meningkat, begitu juga dengan import, karena harga komiditi tidak semata terkait dengan produksi dan permintaan.
Ditengah-tengahnya ada pedagang yang memainkan peran dominan untuk komoditi pertanian.apalagi jika sudah masuk bursa komoditi. Sentimen dan isu menjadi faktor penentu yang menyebabkan perubahan harga.
Naik turun seperti rollcoster harga komiditi pertanian sudah terjadi sejak jaman dahulu. Dan pemerintah tidak dapat berperan dominan untuk mengaturnya.
Dulu ada BUMN niaga yang dibentuk semuanya rontok, Bulog yang seharusnya mengambil peran tidak mau mengambil resiko pada produk yang cepat rusak atau busuk seperti bawang atau cabe.
Jadi yang bisa dipertimbangkan untuk menjaga harga dan kebutuhan petani yakni ada wadah koperasi petani bawang, koperai petani jagung, supaya ada bargaining petani melalui kebersamaan dalam koperasi untuk menghadapi pedagang ataupun pengguna hasil pertsanian kita.
Tetapi solusi ini harus permanen bukan tiba masa tiba akal yang kadang hanya bisa menjadi narasi PHP kepada petani.
Disisi lain petani tidak punya power untuk mengontrol harga hasil buminya. Bahkan sekelas petani kelapa sawit tidak kuasa.
Mestinya ada intervensi pemerintah untuk stabilkan harga yang dharapkan, hanya saja terlalu bagus secara konsep tetapi gagal untuk diterapkan karena godaan mencari untung sendiri.
Kita perlu belajar dari belanda yakni dengan Razal Flora Holland (RFH)
RFH adalah merupakan koperasi terbesar hasil pertanian belanda berupa bunga khususnya bunga tulip.
RFH menguasai pemasaran tulip seluruh dunia. Koperasi ini tidak segan untuk melakukan langkah ekstrim untuk menstabilkan harga, dengan cara mebeli tulip petani yang over produksi kemudian dihancurkan oleh RFH.
Jadi harus ada koperasi yang solusinya melawan hegemoni Kapitalis, itu bisa dilakukan sepanjang seperti kata dr. Arsyad Husen, korporasi yang mewadahi kelompok Koperasi atau badan lain.
Dan Pemegang usahanya itu harus orang yang amah, berintegritas, jujur sabar dan istiqomah dalam menjalankan usaha ini, dan menjadi pejuang bersama petani. ( admin )

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *