Pembangkangan Putri Sop Ikan dan Wane oleh Muchlis Dj.Tolomundu (6)

Tante Is

Bagaimana kabar Tante Is yang meninggalkan tugas belajar di sekolah perawat RKZ? Kemana gerangan? Tante Is tak pulang ke Bima. Ia mendaftar kuliah di Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Nekad. Tanpa fasilitas tugas belajar.

“Bagaimana lagi.Tante sudah di Surabaya. SKP sudah batal. Masak mau pulang bawa tangan hampa gara-gara takut terpercik darah,” kataTante Is.

Sekitar kurang dari setahun sebelum jabatan Putera Kahir sebagai Kepala Daerah Tingkat II diganti dengan penunjukan diawal rezim Orba (1967) kepada Komandan Kodim Letkol Soeharmadji sebagai Bupati, Tante Is pulang kembali di Bima.

Ia datang sebagai Aisyah Muhammad Sarjana Hukum. Kurang lebih setahun sebagai hakim di Pengadilan Negeri Bima. Ketika Ketua Pengadilan Negeri Pitoyo SH dimutasi keJawa, Mahkamah Agung menetapkan promosi Tante Is (setelah menikah namanya menjadi Aisyah Sardjono,SH) sebagai Ketua Pengadilan Negeri Bima.

Kalau emansipasi ditakar cuma dengan pencapaian (achievement), maka capaian Tante Is sudah menjadi tonggak emansipasi—yang kini disebut dan dikonsep sebagai pergerakan kesetaraan perempuan.

Gerakan emansipasi di Bima sejak saat itu dapat dianggap cukup maju dibanding daerah lain. Bahkan pada 1960-an sudah ada perempuan Bima yang bukan ningrat, bukan bangsawan, keras hati mengerahkan elanjuangnya sendiri, meraih sarjana hukum dan mencapai posisi ketua pengadilan negeri.

Di Indonesia saat itu belum ada perempuan ketua pengadilan negeri. Perempuan hakim sajapun baru beberapa orang.

Perawat gagal itu menjadi wakil kekuasaan Yudikatif Republik Indonesia di Kabupaten Bima.

Di meja hijau peradilan, dia wakil Tuhan. Pada upacara lapangan, guru SKP batal itu berdiri sebagai Muspida sama berwibawanya dengan Muspida lainnya dari unsur eksekutif dan ABRI, semuanya lelaki : Bupati Soeharmadji, Dandim Soegiri, Danres Rahmat kemudian Basoeki—semuanya Jawa kecuali Kajari Arif.

Pada akhir 1970an, Tante Is yang hidup sederhana dan berendah-hati dengan reputasi bersih itu mendapat promosi menjadi Ketua Pengadilan Negeri Klas 1 Mataram di ibukota provinsi. Saat itu belum ada Pengadilan Tinggi Mataram. Untuk pengadilan tahap banding, NTB kala itu masih dalam yurisdiksi Pengadilan Tinggi Bali di Denpasar.

Lalu bagaimana nasib anggota genk puteri lainnya yang kecewa dan marah akibat gagal mewujudkan SKP cita-cita, harapan dan doa mereka?

Mereka yang kemudian pergi jauh dari teluk Bima yang dikungkung bukit untuk menantang laut biru dengan cakrawala baru.Tante Amu dan Tante Min Sahidu.

Halimah Ratna Hantabi (Tante Amu), anak Tua Haji Hantabi, Sila.

Rumahnya dengan halaman banyak pohon mangga di kiri jalan bila dari Bima menuju Dompu, persis setelah deretan pertokoan dan kantor telepon Sila. Perempuan Sila ini meraih sarjana yang di inginkannya setelah sirna harapan jadi guru SKP batal. Dapat jodoh pula di Yogyakarta, mahasiswa UGM kemudian sarjana, anak kiayi dari Banjar, Kalsel.

Pasangan ini kemudian melanjutkan kuliah meraih master di Rotterdam, Belanda dan Harvard, Amerika.

Kembali ke Jakarta, istri menjadi dosen, suami bekerja di Bappenas.Tak lama lalu suaminya dilantik sebagai Deputi Menteri Perencanaan PembangunanNasional/Kepala Bappenas.

Sekitar 10 tahun kemudian diangkat menjabat Menteri Muda Sekretaris Kabinet, Lalu Menteri Sekretaris Kabinet, kemudian Menteri Sekretatis Negara RI sampai Presiden Soeharto lengser.
Pasangan itu adalah Halimah Ratna Hantabi & Saadillah Mursyid.

Setelah suaminya wafat, Tante Amu menetap di Australia menemani anak-anak dan para cucu.

Akan halnya Aminah Sahidu, kemudian kuliah di UGM dan menjadi Dosen di Universitas Mataram. Cantik dan berpembawaan elegan, batal jadi guru SKP gagal itu ia bahkan meraih guru besar alias profesor dan menjabat Pembantu Rektor Universitas Mataram. Menikah dengan seorang jaksa,OmTaufik Hantabi—adik dari Halimah Hantabi (Tante Amu).

Mengisahkan detail perjalanan para perempuan Bima yang gigih, keras hati, kukuh, bersemangat progresif, memiliki passion untuk perubahan, mengerahkan elan dan semua daya mampunya menyikapi zaman baru pada era akhir 1950an – 1960anitu, barangkali bisa jadi novel tersendiri. Perjalanan para perempuan itu memberikan kepada para penulis yang mau melihatnya untuk membuat bab bahkan buku mengisahkan perjalanan mereka. Menginspirasi perempuan generasi kemudian.

Andai ada yang mau melihatnya dengan sudut pandang itu. “Mereka, para perempuan, mungkin adalah makhluk yang luar biasa rumitnya. Jauh lebih rumit dari pria. Karena faktor-faktor emosinya lebih banyak, lebih bervariasi. Tetapi, justru di situ lah letak potensi lebih besar pada perempuan untuk membuat capaian-capaian besar dibanding pria,”
begitu kata Gus Dur tentang perempuan.

Ketika saya berkeliling kota ini pada 2015, dua kedaton dipojok tenggara maupun di pojok barat-laut blok Suntu, sudah tak terlihat. Waktu telah meringkusnya. Dihalaman luas dari mana dulu mengalir derai cemara, kini berdiri beberapa rumah.
Serupa nasib kedaton di pojok barat-laut blok Suntu. Kedaton berhalaman luas dengan banyak pohon kawista itu sudah pula sirna.

Lala Hafsah

Sultan Salahuddin punya adik perempuan dari ibu yang berbeda.
Salah seorangnya adalah Lala Hafsah.Ia sekandung dengan Ruma Lo.

Ia menempati kedaton yang indah di luar blok Istana bersama suaminya, Abdul Muthalib, Kedaton pasangan ini berarsitektur Art-deco, di sekitar seberang jalan dari lokasi BNI saat ini.Pada 1971 saya masih melihat sisa keindahan arsitektur kedaton ini meski sudah tak dihuni dan tampak tak terawat. Hanya 2 bangunan di kota ini dulu yang bergaya full Art-deco. Kedaton Lala Hafsah dan rumah Kepala Pemerintah Daerah Pulau Sumbawa M.Hasan di pojok utara timur-laut komplek Tolomundu.

Saat saya hendak melihatnya kembali pada 2015, kedaton Lala Hafsah sama nasibnya dengan kedaton saudaranya yang lain, sudah raib.
Pasangan Lala Hafsah – Abdul Muthalib tidak lama berumah tangga. Sang Istri yang meninggalkan kedaton.
Bukan terutama lantaran tak dikaruniai anak.
Tapi memang Lala Hafsah adalah ningrat dengan antusiasme pergerakan. Passionnya pada aktivitas di luar rumah, berkumpul dan berkegiatan dengan warga. Merasa terpasung bila melulu menjalankan tradisi mengabdi suami, urusan dapur dan semacam itu.

Seorang perempuan ningrat yang bergairah dan bersemangat mengubah keadaan terkungkung.
Setelah meninggalkan kedaton, Lala Hafsah memilih tinggal pada sebuah rumah panggung di tengah warga di blok Suntu. Di sanalah ia beraktivitas sesuai panggilan jiwanya.

Foto Cover ;Elok Wai Gani, Foto koleksi Sri pribadi