Pembangkan Putri Sop Ikan dan Wane Oleh Muchlis Dj.Tolomundu (5)

TANTE MIN and THE GENK

Diagonal dari lokasi kedaton Ruma Lo, yaitu di pojok barat-laut blok Suntu,adalah kavling yang sama luasnya. Mendesir nyanyain angin dari dedaunan, pucuk,ranting banyak pohon kawista yang menjulang di sana. Berselang selebar jalan dengan gerbang timur blok istana kesultanan.

Disini kedaton adik sekandung Sultan Salahuddin, namanya Nazaruddin—dikenal sebagai Ruma Uwi. Pangeran ini lebih tua dari Ruma Lo.
Pada akhir 1960an Ruma Uwi sudah tampak uzur,kadang menggunakan tongkat. Meski necis dengan sweaternya, rambutnya sudah memutih dan menipis.

Empat orang puteranya—Om Kadhim dan adik-adiknya—semua tinggal di Jakarta. Adapun dua puterinya,Tante Min danTanteTuti—begitu biasa saya menyapanya—bersama ayahnya tinggal dikedaton.

Tante Min menyelesaikan SR 3 tahun di SR Suntu. Kemudian melanjutkan SR 3 tahun di SR Melayu. Menjalani SMP di Perguruan Muhammadyah, utara Tolomundu.

Beda dengan Tante Johar, Tante Emi, dan saudara serta sepupu lainnya—yang diantar mobil dari komplek istana bersekolah di Raba, Tante Min memilih sekolah yang tidak terlalu jauh untuk mengayuh sepeda bersama teman-temannya.

Selulus SMP, Tante Min diantar ayahnya dan seorang sahabat ayahnya untuk menempuh sekolah guru di SGKP (Sekolah Guru Kepandaian Puteri) di Solo.

Puteri dari sahabat ayahnya, adalah sahabat Tante Min, sudah lebih dulu setahun menempuh pendidikan disekolah yang sama di Solo.

Sebelum Tante Min lulus dan kembali pulang, di Bima sudah menunggu teman-temannya yang setahun sampai empat tahun lebih senior. Mereka sudah duluan lulus dari sekolah menengah di Solo, Jogja dan Surabaya.

Ada tindakan besar yang genk puteri ini hendak wujudkan di kampung halaman.

Mereka yang sudah lebih dulu tiba kembali di Bima, antara lain, adalah (diurut berdasarkan senioritas) Aisyah Muhamad, Halimah Ratna Hantabi, Hadiante A. Hamid, Aminah Sahidu, dan Chadidjah Mus.

Pada kemudian hari mereka kupanggil Tante Is,Tante Amu, Tante Ante, Tante Min Sahidu—untuk membedakannya dengan Tante Min puteri Ruma Uwi yang paling muda usia diantara mereka.

Genk puteri ini sudah lebih dulu mendapat persetujuan dan komitmen dari Putera Kahir.
Juga disemangati Puteri Maryam, yang lebih senior dari genk puteri ini, untuk menggunakan sebidang tanah di timur jembatan Penatoi.

Tante Min lulus di Solo. Tiba di Bima dan kembali bergabung untuk bersama–sama bertindak mewujudkan dan menjalankan Sekolah Kepandaian Puteri (SKP) sebagai pertanggung jawaban atas cita-cita, harapan dan doa-doa mereka sebelumnya.

SKP yang mereka gagas adalah SKP pembaharu yang berwawasan era akhir 1950an-awal 1960an, bervisi dan berorientasi ke zaman baru.

Hasil interaksi mereka dengan pendidikan di Jawa dalam alam pikir pasca kemerdekaan. Bukan SKP ala Koop school yang sedikit banyak terpengaruh mental terjajah di bawah alam pikir era kolonial.

Di Bima memang sudah ada SKP yang didirikan awal 1920an. Namun, para perempuan progresif ini merasa tidak cukup SKP itu dan belum cukup satu SKP untuk buat mewadahi gairah dan semangat perempuan BIma menempuh pendidikan untuk memasuki peradaban zaman baru pasca kemerdekaan.

Waktu berjalan.Sembari menyiapkan silabus pembelajaran, genk puteri menunggu dibangunnya satu dua klas saja dulu agar mereka dapat segera menerima murid dan mengajar.

Namun, dari tahun ke tahun harapan itu pun berangsur pupus. Bangunan sekadar satu dua klas yang ditunggu tak jua terbangun. Mereka tak mungkin mengajar dan murid tak bisa diterima untuk belajar diatas tanah terbuka.

Dirundung kecewa,Halimah Ratna Hantabi—figur paling tegas diantara genk ini
—meninggalkan Bima kembali ke Yogyakarta. Tekadnya bulat.

Kuliah. Aminah Sahidu untuk sementara mengajajar di SMA, kemudian kuliah ke Yokyakarta.
Chadidjah Mus mengajar di SMP Muhammadyah Bima, dan menikah.

Hadiante juga mengajar di SMP dan SMA.

Adapun Aisyah Muhamad (Tante Is) yang paling tua dari genk ini menerima jalan keluar tawaran dari Putera Kahir dan Puteri Maryam, ditugaskan ke Surabaya untuk pendidikan keperawatan di RS Katolik RKZ(Roomsch Katholiek Ziekenhuis).

Ditugaskan juga untuk bersama dan untuk tujuan yang sama adalah seorang perempuan bernama Hadijah Ahmad dari Kampung Nae.

Missi Putera Kahir dan Puteri Maryam akhirnya gatot alias gagal total. Tante Is yang tak kuat dan tak berani melihat darah, apalagi menyentuhnya, meninggalkan RKZ dan penugasannya.

“Tante mau mengajar dan belajar, bukan mau urus orang berdarah-darah,” katanya suatu ketika pada tahun1980an mengisahkan sekilas perjalanannya.

Adapun Hadijah Ahmad yang bertahan di RKZ, kemudian terjalin dalam cinta dengan seorang pemuda asal Sumatera. Lalu mengalami krisis mental, Hadijah Ahmad dipulangkan keBima.
Bukan sebagai perawat, tetapi sebagai pasien gangguan mental.

Lantas, bagaimana dengan Tante Min—puteri pangeran? Puteri berpenampilan elok dengan rambutnya bergelung itu mbani wekina. Kecewa. Terpukul.

Ia menolak mengajar di SMP yang ada. Perasaannya terbebani oleh tertunda-tunda dan pupusnya panggilan hati dan cita-cita mendirikan dan mengajar di SKP yang bukan bernuansa kolonial dan mental terjajah—yang dia dan kelompoknya hendak wujudkan.

Dalam masa kecewa dan terpukul itu, seorang pemuda, Manaf Supaha, guru di SMP dan SMA di Raba jatuh cinta pada puteri ber postur ramping ini.
Cinta pemuda asal Sumatera Selatan ini berbalas cinta dari Tante Min.

Sekitar dua-tiga tahun memadu asmara, sampailah mereka pada kesepakatan untuk menikah. Timbul masalah, Sang Pangeran dan keluarga besar tidak berkenan pada pilihan Sang Puteri.

Ketetapan Sang Pengeran, sejoli ini harus dipisahkan. Tapi Tante Min tak bisalagi untuk kecewa. Tak ada lagi ruang sukma untuk menerima pukulan baru. Lagi pula api cinta sepasang kekasih sudah terlanjur membara untuk dipadamkan oleh sekadar titah ayahanda.

Suatu hari kedaton di pojok barat laut blok Suntu, yang romantis dengan desir angin dari pucuk-pucuk Kawista yang menjulang itu, mendadak diliputi suasana tegang. Hari itu hingga malam Tante Min tidak pulang.

Keluarga besar panik mencari.Semalaman. Semua rumah teman Tante Min didatangi regu pencari. Termasuk rumah genk puteri yang masih tetap tinggal di Bima. Rumah Aminah Sahidu, Chadidjah Mus dan rumah Tante Ante.

Pangeran juga meminta Abdurrahman Mus,sahabatnya—yang bersamanya mengantar Min ketika ke Solo—untuk juga turut mencari.
Kepala Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten Bima ini khawatir pangeran jatuh sakit.

Malam sudah larut kala di gedornya sekali lagi rumah anaknya, Chadidjah (sahabat satu sekolah Tante Min dari SR, SMP Muhammadyah, SGKP Solo), untuk memastikan ada atau tidak puteri pangeran.
Nihil.

Tempat tinggal Pak Guru Manaf Supaha juga disatroni. Guru itu ada ditempatnya.JejakTanteMin tak terlacak. Menghilang.
Pagi esoknya, dirumah Chadidjah Mus tidak seperti pagi biasa.Pagi itu pangeran tidak mampir minum teh atau sarapan, baca koran serta majalah.

Ruma Uwi biasa tiap pagi jalan untuk kebugarannya. Setiap pagi,selalu,mampir. Hari itu,tidak.

Sepagi itu Chadidjah meminta suaminya segera melakukan sesuatu. Khawatir pangeran benar jatuh sakit. Apa yang harus dilakukan? Memanggil pegawai Kantor Urusan Agama. Untuk secara resmi memberitahu pangeran. Uhh…Ternyata Tante Min sudah semalaman di dalam kamar tidur tamu dirumah Chadidjah.

“Sekitar Isya, dia sudah duduk menangis sesunggukan cukup lama di samping garasi, menghadap teras belakang, ketika saya baru melihatnya,” cerita Chadidjah Mus.

Selanjutnya, tak bisa lain, Chadidjah memasukkan Tante Min dalam kamar tidur tamu.

Petugas Kantor Agama yang menemui ayah Tante Min mula-mula mendapat hardikan sepagi itu. Namun, pangeran kemudian menjadi agak tenang lantaran anaknya ada dan baik-baik saja.

Setelah diberitahu puterinya berada dirumah Chadidjah,

“Biar disana saja. Itu kakaknya,” kata Ruma Uwi.

Pangeran kembali mengeras sikapnya ketika pembicaraan sampai pada perihal bahwa puterinya meminta harus menikah dengan pilihannya sendiri, yaitu Guru Manaf Supaha.

Setelah pembahasan panjang, pangeran kukuh tidak menyetujui. Lama duduk dalam saling diam, petugas KUA hampir pamit ketika pangeran membuka suara.

“Begini saja. Sampaikan pada Chadidjah, wali nikah saya wakilkan kepada suaminya Chadidjah,” begitu titah pangeran.

“Surat-surat yang harus saya teken, akan saya teken.”
Setelah beberapa hari proses administrasi selesai, akad nikah—hanya akad nikah—pun berlangsung di rumah Chadidjah Mus.

Tante Min dan Manaf Supaha resmi menjadi pasangan suami-istri.

Bulan madunya dikamar tamu rumah tempat persembunyiannya.

Hampir setengah tahun pasangan behagia itu di sana, kemudian pindah menempati satu ruangan di sisi timur istana megah. Sang Pangeran akhirnya bersedia menerima anak dan mantunya.

Dua bulan kemudian Pak Guru Manaf menerima persetujuan permohonannya untuk pindah mengajar.

Pada sebuah siang, banyak pasang mata basah airmata ketika melepas pengantin itu di dermaga pelabuhan. Mereka naik sampan menuju tangga kapal besar yang lego jangkar jauh dari dermaga di teluk itu.

Tante Min pergi dengan memendam kecewa gagal wujudkan SKP. Ditubuh ku ada luka sekarang….Pembatasan cuma tambah menyatukan kenang….Kata Chairil Anwar dalam sajak Kabar Dari Laut.Dan Tante Min pergi hanya dengan memenangkan cintanya. … di laut pilu, berujuk kembali dengan tujuan biru …… Sejak meninggalkan teluk itu, sampai wafatnya diJakarta, kabarnya ia tak lagi pernah menginjak tanah Bima.

Hari-hari selanjutnya bersama Ruma Uwi dikedaton tinggalhanya seorang puteri, Tante Tuti.
Kemudian hari ia bekerja sebagai PNS di Pemkab Bima. Sampai ayahnya mangkat, ia tak jua menikah. Bahkan hingga hari ini, ketika Anda membaca ini,masih sendiri.
Ia mengangkat sebagai anaknya dua bocah perempuan dari orang tua berbeda.

Foto cover ;Elok Wai Gani, dan foto dalam , foto keluarga Sultan Bima dan para kerabat, koleksi Sri Pribadi.