Punahnya Kedaton dan Hikayat Genk Puteri
Hari kedua di Bima,teman-teman dari Jakarta dan Rusia,yang kemarin menyikat sop ikan kemudian terpukau oleh Pantai Wane, memilih trip ke pedalaman sekitar Kecamatan Belo,hendak mencari kisah kejadian dari bukit dan batu-batu.Lapisan-lapisan batu bercerita mengenai menjadinya.
Beberapa staf dari Dinas Pertambangan Bima mendampingi. Para tamu itu memang geolog, jalan ke mana pun mereka mencari kisah dari batu-batu.
Saya memilih untuk berkeliling Kota Bima, sekadar mengembalikan ingatan mengenai kota tempat lahir dan placenta dibumikan.
Memutari kota, mencari-cari sudut pandang yang unik dan berbeda, yang mungkin belum dilihat dan belum banyak ditulis orang. Bingung juga. Hendak berkisah tentang istana yang kokoh megah itu sudah terlalu banyak yang bercerita. Tentang silsilah kesultanan, buka goggle, banyak link tentang itu. Kamar khusus Soekarno dalam istana, dan lain lain imbuhan. Mau bercerita tentang obyek wisata, apalagi… semua sudah dikupas dari berbagai sudut pandang.
Pada masa sekarang semua kita adalah penulis di laman-laman pribadi dan disiarkan melalui media sosial. Terhadap sejarah, semua kita adalah sejarahwannya sendiri—dengan persepsi masing-masing.
Akhirnya angle itu tiba di kepala dan rasa setelah dari tepi jalan di luar masjid istana memandang arah utara, lintas lapangan bola, pada kediaman pribadi Sultan Salahuddin.
Adakah Tante Ida masih di sana? Tante Johar? Tante Emi? Tante Tuti?Bagaimana pula kabar Tante Min? Puteri Bulqis? Seputar beberapa nama di antara itulah kisah ini.
Apa Siapa mereka yang berada di balik dinding istana. Apa saja kisah mereka,dalam perjalanan lebih 70 tahun kesultanan tak lagi berkuasa sedangkan istana masih tegak berdiri dan dikagumi sebagai penanda kejayaan—dan keperihan—masa silam.
Saya pikir, mungkin ini memiliki magnitude, proximity dan relevansi dengan khalayak orang Bima dan anak-cucu milenial. Sekadar hal ihwal yang sepele saja, yang besar kemungkinan luput dari perkisahan warga.
PUTERI BULQIS
Di luar blok besar istana, di sebelah timurnya, ada satu blok besar persegi empatpanjang. Kira-kira 800 meter kali 400 meter. Sebuah pemukiman luas. Dikenal sebagai Kampung Suntu.
Dipojok tenggara dan dipojok barat-laut blok ini,bila ditarik garis lurus antara dua titik ini adalah diagonal. Pada dua titik diagonal itu berdiri kedaton pangeran. Di pojok tenggara, pada halaman luas dengan daun cemara berderai-derai dari banyak pohon cemara di halaman luas itu, adalah kedaton adik lain ibu dari Sultan Salahuddin. Namanya Sirajuddin. Pangeran ini kerap disebut dengan nama Ruma Lo.
Posturnya sedang-sedang saja, tidak tinggi. Penampilannya yang istimewa. Ala para aristokrat Eropa. Rambutnya dibiarkan agak gondrong jatuh ke samping. Sering kali berbusana casual. Selalu bersepatu, memakai syal di leher. Dan mengendarai motor besar Amerika jenis Harley Davidson berpelana satu. Sendirian berkeliling kota.
Suara mesin motornya menderum keras, membuat orang mau-gak-mau harus menoleh.
Anak Ruma Lo—setahu saya—cuma seorang. Perempuan. Rambutnya dibiarkan panjang terurai. Namanya Bulqis. Kami panggil Puteri Bulqis.
Tentu saja ia sepupu Putera Kahir. Saya tak tahu mengapa anak Ruma Lo dinamakan Bulqis.
Setelah belia baru tahu ada kisah ratu dari Negeri Sabha—seorang ratu yang digambarkan berparas cantik, berambut panjang, berperangai santun dan rendah hati, berhasil membawa kemajuan bagi rakyat dan negerinya. Itu kisah Ratu Balqis dan Nabi Sulaiman.
Andai saya bertemu Puteri Bulqis sekarang, dua pertanyaan untuk dia, “Apa dan bagaimana negerimu?ManaTuan Sulaimanmu?”
Pada awal paruh kedua 1960an, Puteri Bulqis teman sepermainan di TK Kartini.Menempati areal di pojok utara timur-laut blok istana, setengah halaman depan TK ini—tempat kami bermain—dinaungi keteduhan pohon johar tua dengan sekujur tubuhnya diliputi gumpalan kayunya. Ketika Puteri Bulqis ulang tahun, ayahnya, Sang Pangeran, meminta guru kami, Ibu Sinaga, untuk membawa semua murid ikut merayakan ulang tahun anaknya dikedaton pojok tenggara Blok Suntu.
Ibu Guru Sinaga yang tekun dan penyabar meladeni kenalakan kami para bocah,adalah istri polisi resort Bima di Raba. Suaminya bermarga Sinaga. Pulau Samosir ditengah perairan Danau Toba asal marga ini. Keturunan Raja Batak Toba kelima. Dibanyak desa di Samosir maupun di tepi danau, marga Sinaga adalah Si Pukka Huta.Artinya marga yang pertama membuka dan mendirikan desa. Menurut adat Batak, berhak atas tanah dimana mereka menjadi Si Pukka Huta.
Pada hari ulang tahun Puteri Bulqis dari Kesultanan Bima, Kerabat Raja Batak Toba memimpin kami bernyanyi-nyanyi dalam riang gembira—Bintang kecil, dilangit yang tinggi. Amat banyak, menghias angkasa. Aku ingin, terbang dan menari, Jauh tinggi, ke tempat kau berada.
Dua ribu enam ratus kilo meter jauhnya dari Danau Toba, dipojok tenggara Blok Suntu.
Foto cover Elok Wai Gani, Foto Dalam ,Foto Keluarga Sultan Bima koleksi Sri Pribadi