Pembangkangan Putri Sop Ikan dan Wane oleh Muchlis Dj.Tolomundu (3)

perkisahan Muchlis Dj.Tolomundu

PANTAI WANE…….(2)

Pada sebuah pertigaan setelah melewati pusat kecamatan Monta, kami membelok kekiri menuju arah pantai Wane,tidak mengarah lurus ke Parado. Apa boleh buat,kami berpisah dengan jalan mulus tadi. Tampaknya berwisata ke Wane harus rela menempuh separuh jarak dalam ketidak nyamanan di atas jalan lebih kecil dan sedikit lebih buruk.

Sisi kiri kanan jalan berjajar rumah warga. Umumnya rumah panggung dari kayu, Ada bertiang 9 dalam formasi 333, ada beberapa bertiang 12.
Pada kolong rumah umumnya menjadi gudang terbuka untuk menyimpan alat pertanian. Juga banyak yang menggunakannya sebagai ruang terbuka untuk menenun Tembe Nggoli, yaitu produk tekstil ATBM yang dulu hanya jadi sarung, namun sekarang sudah diaplikasikan untuk berbagai ragam busana.

Perancang Busana Poppy Darsono beberapa kali memesan pada seorang teman untuk dibawakan Tembe Nggoli. Perempuan desa di Bima bila sedang tidak mengerjakan tugas usaha tani, umumnya menggunakan waktu untuk menenun.

Pada ruas jalan yang kami lalui, di beberapa mulut gang atau dekat warung ada warga berkumpul. Tampak banyak warga yang mengenakan busana Rimpu, sarung tenun aneka warna digunakan sebagai cadar dan selebihnya menjuntai ujung lainnya sampai pinggang. Cukup dengan dua sarung tenun, satu arung dililitkan di perut untukmenutup hingga mata kaki. Satu sarung lagi dipilin-pilin di kepala dan menjadi cadar,ujung bawahnya menjuntai sampai pinggang—laksana baju kurung yang bahkan mengurung lengan dan tangan.

Tembe Nggoli sebagai busana perempuan Bima,membungkus semua tubuh dan anggota tubuh. Yang terlihat hanya sebaris celah,menguakkan sepasang mata. Dan matakaki.

Cukup jauh jarak pemukiman terakhir—di mana banyak warga berbusana Rimpu tadi—dengan lokasi wisata pantai Wane. Melewati dataran yang cukup luas di sisi kirikanan jalan. Tampaknya sebagian adalah areal sawah tadah hujan, ditanami padi pada musim hujan saja.

Terlihat di sana ternak sapi, kuda, kerbau, kambing mengelompok dalam beberapa kawanan. Ada banyak ternak yang secara sendiri-sendiri memisah.dari kumpulannya terbuang. Bergerak lamban dalam posisi menjulurkan leher ke tanah.

Mulut dan giginya mencari-cari rumput yang masih mungkin dimakan ditengah kekeringan yang mendera.

Saya ingat kekeringan ekstrim akhir 1982 – 1983. Kala itu lebih 3.000 ekor ternak,terbanyak kerbau, tewas bergelimpangan di berbagai area padang yang kehilangan rumput dan kubangan yang tiada lagi berlumpur. Di dasar kubangan, lumpur menjadi adonan garing.Cekungan alam tempat ternak biasa minum menjadi kerontang. Bencana itu memukul usaha peternak dan bisnis para pedagang.

“Berapa banyak industri susu dipulau ini?” Profesor geologi dari Rusia lagi melontar tanya.

“Tidakada,” jawab Aman Jahar yang pernah mukim di Kuala Lumpur dan Hongkong.

“Ternak begitu banyak. Dibawa ke mana susunya?” Air muka profesor merona keheranan.

“Semua ternak memiliki susu.”
“Anak sapi tiap hari minum air susu induknya, kan tidak pernah jadi lebih pintar dari anak manusia. Bima people are not calves or foals.”
Kami dalam semobil berderai tawa oleh jawaban tak terduga si Aman Jahar.

Mantan anggota dewan,inisialnya SAS—dia tak mau identitasnya dipublikasi,mengatakan keheranannya, sebelum area tadah hujan tadi dia lihat hamparan sawah subur yang dipagari.
Aman kemudian menjelaskan, kebiasaan berternak dipulau Sumbawa, tidak dengan pola kandang. Justru banyak petak sawah dan kebun yang dipagari serupa dikandangkan. Itu menghindari isinya dilahap ternak yang umumnya dilepas diarea terbuka, meliar mencari makan minum dari alam.

Tiba kebutuhan menjual ternak, biasanya menjelang tahun ajaran baru dan jadwal bayar ongkos naik haji, pemilik mencari dan menggiring ternaknya dari gunung, bukit, atau dataran sabana.

Tidak ada perselisihan akibat salah klaim kepemilikan ternak. Pencurian ternak, seperti umum terjadi di pulau lainnya–sehingga ternak harus dikandangkan dan dijaga ketat, tidak pernah terjadi di Pulau Sumbawa.

Bila ada berita pencurian ternak dipulau ini, bisa dipastikan pelakunya dari pulau yang lain.

Mobil kami melambat.Memasuki area pantai Wane—terasa tidak well tourism, harus melewati portal melintang dan gardu jaga yang tanpa penjaga.

Maksudnya dibuat untuk apa? Lebih baik dibuang itu portal. Cuma melengkapi ketidak nyamanan separuh jalan lantaran kebijakan yang tidak memprioritaskan perbaikan jalan wisata.

Namun keluhan itu terbayar lunas sesampai di pantai. Memesona. Tidak meleset dongeng para tetua di masa lalu tentang keindahan pantai ini. Sebagian lebar perairan dan pesisir pantai berpasir putih berhadapan dengan dataran sawah dan kebun kelapa.Sebagian lagi berhadapan dengan perbukitan. Kami turun dari kendaraan di ujung jalan persis di hadapan bukit karang yang menjorok sedikit ke dalam area perairan. Bukit karang itu tampak seperti memilah bentangan pesisir ini.
Dari bukit karang ini tampaklah kemilau pada kemahaluasan laut selatan.

Pemandangan arah kiri kami adalah bentangan panjang pesisir berpasir putih sejauh kira-kira tiga kilometer yang melengkung membentuk semenanjung di ujung sana.
Akan halnya di sebelah kanan kami, pepohonan meneduhi pasir pantai melebar sampai ke kaki bukit.

Dengan panjang bentangan pantai sekilometer dari tempat kami berdiri hingga ujung pasir.

Kami terpukau menikmati alam indah itu dari ketinggian bukit karang.

Melangkah turun ke pasir pantai di sebelah kanan, pasirnya tergolong istimewa,halus dan lembut.
Pemandangan setara dengan pantai-pantai di Bali, Lombok, dan Belitung.
Lebar pantai berpasir putih 50 sampai 100 meter ke arah tepi kebun, sawah,atau kaki bukit. Perairannya jernih kemilau. Di tepian, visibilitas perairannya tembus sampai dasar. Tepat untuk aktivitas snorkeling. Dapat diperkirakan banyak jajaran koral diperairan ini.
Repetisi ombaknya datang ketepian,ujungnya menjulurkan lidah berbuih putih pada bentangan pasir datar.
Dalam gemuruh yang berlapis-lapis.
Kemudian surut.
Dan bergemuruh kembali dalam pengulangan yang mengesankan.Memukau. Mungkin lantaran bentuk dan geraknya yang tak pernah sama, ia bebas kendati repetitiv menghempas pasir yang sama, karang yang sama,
Lebih dari layak untuk mengembangkannya menjadi resort wisata.

Keindahan alam dan karakteristik pantai maupun perairannya mendukung.
Berbagai atraksi wisata bahari dan atraksi di dataran dan perbukitan bisa dikreasi. Bima kaya modal atraksi budaya. Yang juga penting, lokasinya relatif dekat dengan bandara. Bila jalan dari Monta ke pantai ini selebar dan semulus dari bandara sampai Monta – Parado, maka waktu tempuh dari bandara kepantai Wane cukup 30 -40 menit.

Jalan eksisting seluruhnya datar dan tanpa melewati kelokan pebukitan. Bila sudah lebar dan mulus maka mudah bagi angkutan wisata dan nyaman bagi wisatawan. Investasi fasilitas akomodasipun efisien karena lahan datar yang sangat luas dihadapan pantai.

Mengherankan pemerintah belum membangun sarana apapun—kecuali portal penghalang pintu masuk yang tidak well tourism tadi—di area yang seharusnya bisa menjadi resort klas satu ini. Sungguh masih asli alam semula jadi, pantai terindah dibelahan timur sebelah selatan Pulau Sumbawa. Pelancong betah bertahan seharian di lokasi ini. Bila tersedia akomodasi yang memadai, masuk akal pelancong bertahan rata-rata tiga malam menikmati pesona Pantai Wane.

Foto cover ; Elok Wali Gani.

Foto Pantai Wane oleh Raka Bimajuga Indonesia.