*KESULTAAN dan REPUBLIK
SEBUAH PAGI SUDAH MENUNGGU untuk dijalani. Mungkin dengan berkeliling melihat beberapa penanda kota Sumbawa Besar. Sekadar reorientasi medan dan mengail memori.
Saya ingat, pada hari yang lain, beberapa tahun yang lalu, dari pojok baratdaya Istana Sultan Sumbawa, saya memandangi sisa perjuangan api yang menghanguskan atap istana. Dinding masih terlihat utuh. Secercah nuansa arsitektural Gothic tak hilang. Lebih kuat lagi unsur arsitektural Art-deco yang menguar dari tampak kolom-kolom dan tiang antar kolom pada selasarnya.
Beberapa waktu sebelumnya sempat saya mengelilinginya, melihat sisa perjuangan api. Ketika itu usai bersama teman teman dijamu Bupati Husni Jibril di kediaman samping istana. Tepatnya perjamuan santap sore, setelah rampung semua acara memakamkan sahabat Sigit.
Pohon-pohon sawit tua masih berjajar subur di sana. Pada kelopak hijau daun sawit menampak sosok penyair Amir Hamzah, aristokrat dari Kesultanan Langkat. Keponakan sultan itu tewas ditebas di tepi lubang kuburan massal oleh eksekutor pemuda rakyat yang tengah menggelorakan revolusi sosial pada 1946. Kesultanan Langkat dan Deli adalah sebagian dari kesultanan yang menjadi sasaran amuk revolusi itu. Sangat mungkin sawit di halaman utara istana berasal dari negeri sang penyair.
Secercah Gothic, selasar Art-deco, dan pohon-pohon sawit tua itu menggambarkan luasnya hubungan Kesultanan Sumbawa dengan negeri-negeri lain di waktu silam. Sawit, misalnya, tentu bukanlah flora endemik pada zona ekologi Sumbawa. Api tak mampu melumat sejarah, juga citra kekokohan istana. Aura dan spiritnya masih mencuat. Merawat ingatan publik tentang kejayaan kesultanan—juga keperihannya. Membayangkan Sultan Kaharuddin IV—yang berkulit bersih dan berpostur tinggi kokoh itu—menangis berduka ketika mendapati istana para pendahulunya, istana rakyat Samawa, ini terbakar. Tampak utara dan timur istana masih seperti semulajadi. Menakjubkan upaya keras regu pemadam yang telah memintas jalaran api.
Ketiak pagi kali ini saya mengintari istana, tampak renovasi istana itu sudah hampir rampung. Kita maknai bukan sekadar untuk “melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat untuk dibanggakan.” sebagaimana kritik yang tertuang dalam surat kepercayaan Gelanggang dari seniman budayawan Angkatan 45. Melainkan juga simbolik merawat tapak para pendahulu dari mana kita bermula. Untuk melawan lupa akan kesadaran kultural.
Kota Sumbawa Besar dulu adalah kota raja, pusat Kesultanan Sumbawa—satu dari tiga kesultanan bersendi Islam di Pulau Sumbawa. Dua kesultanan lainnya adalah Bima di bagian timur pulau dan Dompu di bagian tengah
pulau. Samar-samar diwartakan, ada tiga kerajaan—bukan kesultanan—lainnya berada di kawasan Gunung Tambora. Namun, kisahnya tak banyak lagi dituturkan. Kabarnya beberapa arkeolog sudah cukup lama bekerja menjejak artefak di situsnya.
Kesultanan Sumbawa, Dompu dan Bima termasuk dalam sekitar 40an kesultanan muslim di Nusantara. Setelah kemerdekaan, tiga kesultanan pada waktu berbeda masing masing mengeluarkan maklumat menjadi bagian dari negara yang baru menyatakan kemerdekaannya. Negara berbentuk republik yang dicita-citakan menjadi milik seluruh rakyat— sebagaimana Revolusi Prancis mencitakan ketika memulai negara model republik setelah menghanguskan Kerajaan Prancis. Republik Indonesia lalu menyusun tata pemerintahan di daerah. Yaitu delapan pemerintahan provinsi, antara lain Provinsi Sunda Kecil.
Gubernurnya, I Ketut Puja, berkedudukan di ibukota provinsi di Singaraja, Bali. Mulai menjabat 19 Agustus 45. Provinsi kepulauan ini meliputi seluruh wilayah yang kini menjadi Provinsi Bali, NTB, dan NTT. Ketut Puja hanya 5 bulan menjabat gubernur, ia menyerahkan jabatannya kepada Dewan Raja-raja Bali Januari 1946. Sejak itu Sunda kecil tidak memiliki gubernur.
Desember 1947 terbentuk NIT, Negara Indonesia Timur, sebagai salah satu negara bagian di dalam Republik Indonesia Serikat. Wilayah NIT seluruh Sunda Kecil, seluruh Sulawesi dan seluruh Maluku.
Di dalam NIT, Pulau Sumbawa adalah salah satu daerah otonom dikepalai oleh Kepala Daerah Pulau Sumbawa yang memimpin Pemerintah Daerah Pulau Sumbawa. Ibukotanya
di Sumbawa Besar. Wilayah administrasi pemerintahannya meliputi seluruh daratan Pulau Sumbawa dengan seluruh nisa/gili serta perairan di seputarannya.
Adalah Muhamad Hasan yang diangkat Pemerintah sebagai Kepala Daerah Pulau Sumbawa. Berpembawaan birokrat tulen, tenang dan bicara seperlunya. Meski rambutnya tipis, jarang menggunakan kopiah. Pendopo dan kantornya di ibukota pulau, di salah satu pojok utama kota Sumbawa Besar, sekitar setengah kilometer dari Istana, arah utara setelah melewati jajaran pertokoan. Rumah dinasnya juga di Bima.
Rumah yang luas bergaya arsitektural art-deco dengan taman aneka bunga mengelilinginya. Menempati sebuah kavling paling lebar di pojok utara-timurlaut suatu kawasan para aparat negara. Jauh jarak pendopo dengan rumah dinasnya saya maknai sebagai ilustrasi luasnya rentang kendali pemerintahannya, dari Jereweh hingga Sape yang dikontrolnya melalui turne rutin berkala dengan mobil jabatan : sedan hitam Buick Amerika.
Tiga kesultanan ditetapkan sebagai Swapraja Sumbawa meliputi bekas wilayah Kesultanan Sumbawa, Swapraja Dompu meliputi bekas wilayah Kesultanan Dompu, Swapraja Bima meliputi bekas wilayah Kesultanan Bima. Kepala Swapraja Sumbawa adalah Sultan Sumbawa Sultan Kaharuddin III. Disamping menjabat Kepala Swapraja Sumbawa, ia juga dipilih/diangkat sebagai unsur Pimpinan Parlemen Negara Indonesia Timur berkedudukan di Makassar, ibukota NIT.
Tahun 1950 NIT bubar. Seluruh wilayah NIT dilebur kembali ke dalam Negara Republik Indonesia. Adapun Pemerintah Provinsi Sunda Kecil, bekerja efektif lagi sejak tahun 1950 itu dengan gubernur baru Susanto Tirtoprodjo.
Pemerintah Daerah Pulau Sumbawa tetap efektif jalan sebagai semula, tetap dengan Muhamad Hasan sebagai Kepala Daerah Pulau.
Begitu pula tiga Pemerintah Daerah Swapraja di Pulau Sumbawa, tetap berjalan : Bima, Putra Mahkota Kesultanan Bima Abdul Kahir sebagai Kepala Daerah Swapraja; Dompu, M. Tajul Arifin AW Sirajuddin, cucu Sultan Dompu Muhammad Sirajuddin, sebagai Kepala Daerah Swapraja; dan Daerah Swapraja Sumbawa dikepalai Sultan Kaharuddin III.
Pada tahun 1958 Pemerintah RI melalui UU 69/1958 melikuidasi Pemerintah Daerah Pulau Sumbawa. Bubar. Wilayahnya menjadi 3 Daerah Tingkat II, yaitu Dati II Sumbawa meliputi bekas Daerah Swapraja Sumbawa, Dati II Dompu bekas Daerah Swapraja Dompu dan Dati II Bima bekas Daerah Swapraja Bima. Masing-masing Kepala Daerah Swapraja selanjutnya menjabat Kepala Daerah Tingkat II yang baru dibentuk: Sultan Kaharuddin III untuk KDT II Sumbawa sampai 1960; M.Tajul Arifin AW Sirajuddin untuk KDT II Dompu sampai 1960; Abdul Kahir untuk KDT II Bima hingga tahun 1967. Ketiga DATI II se pulau Sumbawa itu menjadi bagian dari Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat yang dibentuk dengan UU RI 64/1958.
Dalam era reformasi mengemuka aspirasi penduduk bekas wilayah Pemerintah Daerah Pulau Sumbawa, yang dulu terdiri dari 3 daerah swapraja kemudian beralih jadi 3 DATI II, lantas mekar menjadi 4 kabupaten dan satu kota otonom, untuk membentuk provinsi sendiri terpisah dari NTB. Provinsi Pulau Sumbawa, itulah calon namanya. Kota Sumbawa Besar diusulkan sebagai ibukota provinsi. Usul ini
sesuai marwah historikalnya mengingat kota ini adalah, dulu, ibukota Pemerintah Daerah Pulau Sumbawa.
Berkeliling kota calon ibukota provinsi ini, mencoba menemukan heritage yang lain, selain kediaman sultan bercat kuning yang berarsitektural full art-deco dan istana kayu—yang sudah banyak sekali dikisahkan orang. Saya hendak menemukan yang berbeda. Mungkin situs pendopo kepala daerah pulau.
Dari pertigaan sisi baratlaut istana, ke arah utara menyusuri kawasan pertokoan, saya merasa kehilangan sesuatu. Dulu semua toko memiliki selasar depan —dengan tembok tua melengkung di atas kepala sebagai pembatas antar toko. Selasar itu area warga hilir mudik melintas, perjumpaan yang kebetulan, saling menyapa, bercakap, melihat etalase dan menimbang—sejenak berpikir —sebelum menetapkan pilihan: membeli atau sekadar menikmati suasana.
Selasar menyambung dari ujung selatan ke ujung toko di utara dengan lantai yang sama rata. Menjadi semacam arcade egaliter di halaman depan sebuah kota pesisir. Hilangnya arcade dari kota Sumbawa, mungkin juga di kota-kota lain, barangkali suatu tanda : orang-orang— bahkan di kota kecil ini—sekarang hidup dengan lebih bergegas. Atau tak ada lagi ruang bagi yang tak mampu membeli.