*Kesultanan & limpah ruah kekayaan, ratna & kepala usman naim dari kebun durian (5)
KESULTANAN Sumbawa kala berabad silam, puluhan tahun lebih mula lahir ketimbang Selangor. Ikhwal Malaysia mengingatkan kita pada peristiwa tewasnya seorang jagoan pada Rabu malam 19 Januari 1983.
Malam sudah larut ketika Kepala Desa Juru Mapin kedatangan tamu. Seorang pembawa bungkusan yang segera diletakkannya di meja di hadapan kepala desa. “Oleh-oleh, Pak Kades,” ujar sang tamu, Murtada namanya. Kepala desa berterima kasih dibawakan durian. Memang lagi musim panen durian. Seantero kebun ramai dan benderang sepanjang malam, banyak pembeli dari kota. Setahu kepala desa, Murtada memang berkebun durian di areal Tanah Kuning, dua jam jalan kaki sampai rumah kades. Kemudian, terjadilah kengerian itu.
Rumah Pak Kades dan sekitarnya mendadak diliputi kepanikan. Bungkusan oleh-oleh yang dibuka Pak Kades ternyata berisi sepotong organ manusia, potongan leher sampai kepala—dengan lumuran darah yang masih segar.
Pak Kades mengenali wajah lelaki 34 tahun dalam bungkusan, dialah Usman Naim alias Usman Diang—dikenal warga sebagai jagoan tak terkalahkan, residivis, biangkerok yang sudah diusir dari desa, sekaligus bekas anggota PKI/C.
“Saya sudah bunuh bajingan itu. Saya lega sekarang,” kata Murtada kepada Pak Kades.
Malam itu juga Syamsudin sang kades membawa Murtada ke kantor polisi di Alas, 14 km dari desa Juru Mapin.
Adalah Ratna, istri Murtada, hanya bersama anak anaknya di rumah selama suaminya merantau ke Malaysia sejak 1978. Pulang dari rantau, Murtada mendapati Ratna hidup (di bawah ancaman) bersama Usman. Bahkan melahirkan seorang anak dari si jagoan pengancam. Selanjutnya, itulah yang terjadi. Saya menemui Murtada di balik jeruji tahanan, mencoba cari tahu perasaannya. “Saya
menyesal. Tapi saya puas,” katanya datar.
Tampaknya luka rasa itu teramat dalam. Kesumat bersemayam tak hengkang bila tak terbalas. “Tulang tengkoraknya pecah. Ususnya terburai oleh enam tusukan. Hatinya tercecer keluar,” papar dokter Joko Sutanto yang melakukan visum jasad Usman. Bahkan dokter merasa, “Mengerikan sekali.”
Warga desa menganggap Murtada pahlawan pembebas dari cengkeraman ketakutan yang sudah menahun. Tidak ada tahlilan melepas Usman dari sanak famili maupun dari tiga istrinya—tidak termasuk Ratna yang sudah kembali pada ikatan pernikahannya semula.
PERTIGAAN KE ARAH TALIWANG tadi sudah jauh di belakang. Itu daerah asal sobat-yunior Salamudin Daeng. Yang punya kampung sedang sibuk dengan tugas yang harus ditegakkan dalam peradaban demokrasi, yaitu sebagai oposisi terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Sama dengan sobat-senior yang gunakan nama Taliwang di belakang namanya agar jadi setenar kuliner ayam taliwang, Hatta Taliwang, yang selalu bolak-balik Bandung-Jakarta untuk perjuangan oposisi. Saya menyaksikan susah-derita mereka dalam perlawanannya.
Mereka berdua adalah pejuang hati nuraninya— mungkin itu yang membuatnya tetap bergelora, dua puluh tahun tak pernah menjadi bosan dan jera mengkritisi kekuasaan yang berlindung di balik demokrasi. Bagi mereka, demokrasi mensyaratkan senantiasa adanya gedoran sebagai checks & balances. Gedoran mereka niatkan sebagai bagian
dari orkestra pendorong terwujudnya : pemerintahan demokratis yang setara dan seimbang antara cabang cabang kekuasaan negara, supremasi hukum dan keadilan, jaminan dan perlindungan serta terpenuhinya hak-hak rakyat. Elan juang mereka kental dilumuri pandangan Bung Hatta : “……. Demokrasi Barat yang dilahirkan oleh Revolusi Pransis, tiada membawa kemerdekaan rakyat yang sebenarnya, melainkan menimbulkan kekuasaan kapitalisme.
Sebab itu demokrasi politik saja tidak cukup untuk mencapai demokrasi yang sebenarnya, yaitu kedaulatan rakyat. Haruslah ada pula demokrasi ekonomi, yang memakai dasar, bahwa segala penghasilan yang mengenai penghidupan orang banyak harus berlaku di bawah tanggungan orang banyak juga.”
Sampai di terminal bus Alas rasa lapar saya harus ditanggung lebih lama lantaran batalnya rencana makan di kedai nasi campur ayam bersambel sedap. Kedai tepi jalan yang menclok di dalam halaman terminal bus, tempat saya biasa makan sejak masa 1980an bila melewati kota kecamatan ini kala hari terang. Kali ini kedai terlihat tutup. Kemudian di pertigaan arah ke dermaga pelabuhan Alas, sesaat saya melongok ke kiri, tampak di sana laksana waktu tidak bergerak.
Serupa keadaannya puluhan tahun silam. Dulu adalah pelabuhan penyeberangan sebelum ada Pelabuhan Tano, saya lewati situs Pelabuhan Alas sebagaimana waktu telah meninggalkannya.
Sembari melintas cepat di ruas Buer, perasaan agak melayang…tempat ini mengingatkan pada seseorang, kampung asal temen dekat yang sering saya persulit hidupnya, sehingga tak pernah bisa saya memaafkan diri. Teman dekat perempuan yang mandiri dalam menegakkan
harkat, yang pantang menangis menjalani ada dan tiada pencapaiannya.
Ketika melintas di Pernang dan Penyengar sekelebatan terbayang sosok sahabat kakak-adik Doktor Mangagaukang Rabba dan Legislator Nurdin Ranggabarani. Sang kakak, penulis banyak buku, sering menemani nongkrong melewati malam di Senggigi kendati gubernur yang ulama melarang aparatnya menanti bulan rebah di kawasan turis. Lebih terlarang lagi sembari menghabiskan isi botol.
Tetapi, ”Aida, kita sudah di sini. Tak sanggup kuelakkan takdir ini,” kata Mangga’u—demikian dulu Gubernur Harun biasa memanggilnya. Takdir untuk sesekali menyempal dari tugas, target dan manfaat demi meraih gembira. Kode keras tentang takdir tadi biasanya lantang diaminkan oleh Sigit Wratsongko, Johan Bahri, Hendra Kusuma, dan Didu F. Mei. Sesekali Dianul Hayesi dan Catur Wibowo turut dalam perjamuan.
Memasuki Utan muncul raut hitam berambut rada kribo. Perokok berat namun suara baritonnya membetot pendengar radio untuk terus mengikuti siarannya.
Namanya Sam Chandra. Jenis suaranya, langgam dan intonasinya, sama dengan legenda penyiar RRI TVRI : Sambas Mangundikarta. Di sini juga kampung asal sobat yang terkenal gigih: Muhamad Jabir—wakil bupati periode dulu.
Selewat Utan terlihat deretan penjual buah terutama jeruk pisang di tepi jalan. Tampak luasan lahan yang semula tandus telah digarap dengan gigih jadi kebun buah, juga kelapa. Saya menepi ke sisi kanan jalan membeli pisang untuk mengganjal perut pada satu dari banyak lapak. “Pisang hasil kebun di sini,” kata ibu penjual buah.
Hasil ketekunan keluarga petani mendulang kesuburan tanah yang
tersembunyi di balik kegersangan yang tampak. Di latar belakang lapak, mengelompok kawasan pemukiman cukup luas dengan bangunan rumah tembok.
Pada rentang jarak Badas sampai Labuhan, tepi kota Sumbawa Besar, di masa dulu sering terlihat rombongan ternak kerbau digiring menuju pelabuhan. Kali ini tak lagi tampak. Sumbawa memang dikenal sebagai penyuplai kerbau ke berbagai pulau. Disertasi doktor seorang teman kelahiran Sumbawa di Fakultas Peternakan, Universitas Mataram, mengurai panjang betapa keunggulan kerbau dibanding sapi.