*JUSUF MERUKH(2)
Berkenaan dengan mineral di Indonesia, khususnya di Sumbawa Barat, satu nama akan abadi : Jusuf Merukh.
Lelaki kelahiran Rote dengan banyak peran pada berbagai zaman. “Saya pemegang konsesi tambang Batu Hijau,” ujarnya. Satu tangan dengan serbet putih bergerak menyentuh dadanya.
Dengan bahu bergerak agak condong ke depan, “Saya yang menemukan mitra investor setelah menggelandang di beberapa kota di Amerika. Cuma anak bawang dalam pergaulan komunitas bursa efek Wall Street, New York. Ya
anak bawang menggelandang saking lama dan menipisnya biaya dari hari ke hari padahal dalam tas saya ada dokumen dan peta-peta spot tertentu di bumi berkandungan ribuan trilyunan rupiah.
Sesudah ketemu pun, harus susah payah terapkan berbagai kiat dan siasat untuk meyakinkan investor,” begitu ceritanya suatu malam di meja makan dengan ragam menu Jepang di hadapannya.
“Saat itu tidak ada yang tertarik pada emas, harga sedang jatuh. Biaya produksi lebih mahal sekitar 30 persen dari harga jual. Mana ada yang mau invest. Saya dianggap gila mau ajak orang lain jadi bangkrut. Akhirnya ada juga yang mau ikut gila, Newmont Mining Corp. dari Amerika dan Sumitomo, Jepang. Mereka percaya bahwa harga emas akan kembali berjaya.”
Mudah menemukan dan mengobrol dengan Jusuf Merukh. Kerap rendezvou dengan para tamu di meja pojok paling belakang di restoran Hotel Shangrila, Jakarta. Dari mejanya mantan Asisten Utama (mungkin saat ini setingkat deputi) Menteri Agraria sekaligus politisi PNI ini bisa melihat semua tamu yang datang tanpa menoleh.
Setelah Kementerian Agraria dilebur menjadi keditjenan dalam Departemen Dalam Negeri, lantas ada aturan monoloyalitas, pegawai negeri dihadapkan pada kondisi harus memilih : tetap hanya sebagai pegawai negeri atau menjadi politikus nonGolkar. Tidak boleh merangkap. Mendagri saat itu Amir Machmud, sang bulldozer rezim Orba, meminta Merukh— yang sudah berpangkat puncak cuma dengan masa kerja 10 tahun—untuk memilih. Akhirnya,
“Saya pilih berhenti dari pegawai negeri,” ujanya.
Menjadi hanya politisi di luar Golkar pada masa itu adalah pilihan hidup yang berat. Tanggal semua fasilitas dan kemapanan. Ekonomi keluarga rada terpuruk. Merukh
kemudian menagih janji saham pada seorang pengusaha Arab Medan yang pernah dibantunya—atas rekomendasi tokoh PNI Ali Sastroamidjojo—untuk mendapatkan ijin perkebunan di Aceh. Sebagai orang PNI dan petinggi di Kementerian Agraria, urusan itu mudah baginya. Pengusaha Arab Medan menjanjikan kepemilikan saham 30% bila Merukh sudah tidak lagi bekerja dalam pemerintahan. Saatnya menagih saham.
Namun, sampai Merukh dan istri mendatangi pengusaha hutan itu di Medan, proses alih saham tak juga beres. Janji lisan saham benar-benar pupus setelah pengusaha itu meninggal.
Merukh kemudian menghadap Dirjen Kehutanan di Departemen Pertanian saat itu, Soedjarwo. Berlatar lingkungan Mangkunegara, Solo, “Beliau halus tutur kata dan gerak lakunya.” Kebetulan sudah lama saling kenal, Soejarwo adalah Menteri Kehutanan pada 1964 sampai 1966. Lalu kementerian itu dilikuidasi jadi keditjenan dalam Deptan.
Mulai 1982 kembai menjadi Departemen Kehutanan dengan Soedjarwo pula yang menjadi menteri. “Istri beliau pun kerabat Mangkunegara, kerabat Ibu Tien,” Merukh menjelaskan.
Jadi, “Saat menghadap Pak Dirjen, saya mesti bicara merendah. ‘Mohon Panjenengan berkenan membantu, saya mengajukan permohonan lima konsesi HPH.
Saya menjadi pengelola hutan saja bila Panjenengan berkenan mengijinkan’.” Demikian Merukh memohon dengan kesopanan Jawa, dua tangannya ngapurancang—bersedekap di bawah perut, duduk bercakap memohon. “Iya, dong. Saya mesti menggunakan kataganti ‘Panjenengan”, dengan ‘P’ besar saat berbicara kepada beliau.” Paham unggah-unggah itu, istri Merukh juga orang Solo.
Namun mimiknya kala
mengisahkannya dengan paras berkulum senyum membuat teman saya Suryansah, kelahiran Empang, Sumbawa, tidak sanggup untuk tak mengikik.
Harapan 5 HPH itu akhirnya terkabul. Di Kalimantan, Sulawesi dan Halmahera diperoleh sesuai peta dan luas yang dimohon : ratusan ribu hektar. Merukh—yang pada masa bocah dan belia sekolah di Bima dan Makassar itu—lalu menjadi kaya dan aktif mendanai aktivitas politiknya. Buruh dan mesin di hutan bekerja sendiri mendulang uang di bawah pengelolaan investor Jepang.
Dari pokok-pokok kayu yang tertebang, sebagian diekspor gelondongan, sebagian diolah dalam industri playwood. Pundi-Pundi Merukh di bank Hongkong dan Singapura menggelembung. Dengan sebagian uang hutan ini Merukh akhirnya dikenal sebagai pendana awal Partai Demokrasi Indonesia (PDI), hasil fusi partai politik (1973) oleh rezim Soeharto.
Di dalam PDI dilebur PNI dan partai-partai beraliran nasionalis lainnya serta parpol beraliran Kristen maupun Katolik. Merukh hanya tertawa merespon sentilan kami, “Kayaknya Pak Merukh ini orang Opsusnya Ali Moertopo di PDI untuk memuluskan dan mengamankan program fusi.”
Dari rekening gendut itu pula ia mulai merambah bisnis tambang mineral. Sebagai mantan pejabat tinggi Agraria, aksesnya demikian luas terhadap peta bumi Nusantara peninggalan kolonial. Banyak konsesi tambang yang sudah di tangan pengusaha lain dia ambil alih. Juga mengajukan permohonan konsesi baru.
“Berdasar kompilasi peta warisan kolonial dengan peta satelit dari Tony Branco, seorang teman Amerika,” beber Merukh yang meraih gelar insinyur pertanian di Texas tahun 1960an, setelah gagal menempuh kuliah di IPB selulus Sekolah Pertanian Menengah Atas di
Makasar.
Tanpa pengetahuan tambang sedikitpun, di tangan Merukh terkumpuil 50 konsesi tambang mineral atas namanya sendiri atau atas nama 40 perusahaannya. Mulanya ia menyasar krom, logam untuk membentuk baja nirkarat, yang saat itu sedang berharga menarik. Tetapi selalu deposit emas yang ditemukan.
Titik deposit mineral yang disasarnya bertebaran dari Aceh sampai Pulau Bougenville di Papua Niugini, Dari Rote di selatan sampai Filipina di utara. Jejak Merukh ada di Busang, di Bengkulu, Minahasa dan Bolaang Mangandou, di Wetar, Banyuwangi maupun Jember.
“Hampir seluruh belantara yang berurat mineral sudah saya jelajahi,” katanya. Seperti musafir dari belantara ke belantara, ia turun sendiri dalam survey-awal-rintisan pada semua titik konsesinya. “Di Bengkulu saya harus menggunakan lori tanpa mesin, hanya mengandalkan tinggi-rendah topografi pegunungan sebagai tenaga-dorong, untuk mencapai titik konsesi yang dibidik,” kisahnya.
Semua hasil bermusafir itu terhimpun dalam bentuk kertas peta dan dokumen penunjukan hak (konsesi). Itulah yang ada dalam tasnya ketika menggelandang sebagai anak bawang mencari investor di komunitas bursa Wall Street, di Manhattan, New York—tatkala harga emas sedang terpuruk. Rekening Merukh kembali kempis. Bahkan anak yang sedang sekolah di Australia tak bisa dikirimi biaya hidup. Anaknya harus cari akal menghidupi dirinya menjadi kuli pelabuhan. Lalu datanglah mitra untuk menambang deposit mangan di Halmahera. Itulah konsesinya yang pertama berproduksi.
Kemudian Newmont Mining Corporation pun menyatakan bersedia berinvestasi disusul Sumitomo, Jepang,
ikut bergabung : sekaligus untuk 3 lokasi Minahasa, Bolaang Mangandou, dan Sumbawa.
Portofolio Merukh lantas berkibar. Konsesinya dikonversi dengan 500 ribu lembar saham dari total 250 juta lembar saham Newmont Mining Corporation. Itu merupakan pencapaian luar biasa mengingat share holder terbesar saja pun cuma memiliki 10 juta lembar. Saham Merukh 500 ribu lembar itu artinya 0,2 persen saham raksasa tambang dunia yang bermarkas di Denver, Colorado. Saham 0,2 persen itulah kemudian yang dikonversi menjadi 20 persen saham atas nama Pukuafu Indah milik Merukh di dalam anak perusahaan NMC, yaitu PT Newmont Nusa Tenggara yang menambang di Batu Hijau. Entah berapa persen pula dikonversi di Newmont Minahasa.