Puing-Puing Waktu oleh Muchlis Dj.Tolomundu (10)

AKU MENGINGAT momen di TIM Jakarta itu dari tepi pagar halaman rumah di pojok tenggara perempatan. Rumah masa lampau. Kemudian kuajak Arman berkendara keliling kota ini, ke area seputaran tempat kelahiran Uwak dan Om Ima. Sekaligus mampir makan enak di warung peninggalan Om Madura, ayah temanku Gatot.

Masakan kambing dengan resep Om Madura yang terkenal lezat ini lebih mirip tengkleng ketimbang soto—sebagaimana dikenal sejak mula silam tatkala dijual keliling dengan gerobak dorong. Kuahnya berbumbu aneka rempah. Dagingnya disajikan lengkap dengan tulang. Tidak pakai santan, maka bukan soto apalagi gulai. Tidak pula bening, maka bukan sop.

Sebelum aku lahir puluhan keluarga Madura sudah bercampur baur saling silang kawin mawin dengan warga setempat. Temanku Gatot lahir sebagai generasi kedua, mungkin ketiga, peranakan Madura di kota ini. Saat kukunjungi warung peninggalan ayahnya ternyata sudah di tangan generasi anak dan ponakan dari Gatot. Bahkan siap- siap dioper ke generasi cucunya.

Lokasi warung ini tak pernah pindah, masih di tempat yang sama sejak aku TK lebih 50 tahun silam. Di dalam area kawasan kampung tempat Om Ima lahir. Sembari kunikmati daging dan kuah berbumbu rempah itu, Gatot bermata bulat besar itu masih tertawa-tawa menyerap ceritaku. Bahwa pernah kejadian dalam hidupku, tak mampu menemukan masakan seperti yang sedang kukunyah ini setelah 3 hari 2 malam mengubek-ubek dari Bangkalan, Pemekasan sampai Sumenep. Bahkan dalam rute sebaliknya pun masih kucari dengan penasaran.

“Namanya memang Soto Madura. Tapi ndak mungkin ada di Madura … Ha ha ha Ndak ada…Ini menu racikan orang Madura di sini…Kakek Nenek kami Madura di sini. Formula bumbu yang sudah disesuaikan dengan selera lidah orang sini,” Gatot berkisah tentang moyangnya, perantau awal yang menetap atas ijin sultan.

Tampaknya makanan pun, di mana dimasak di situ selera dijunjung.

Menikmati komposisi bumbu moyangnya Gatot, aku ingat cerita Ibuku tentang perkembangan Lala tahun-tahun berikutnya selepas wisuda. Bekerja swasta. Menikah. Tinggal di Jakarta. Membangun usaha dagang scrap alias besi tua dengan suaminya. Beberapa tahun sudah bisa membeli tiga rumah besar. Berlimpah kekayaan materi. Dan diberkahi empat anak.

Suatu hari sesudah 2010 aku mencoba menemui Lala. Tak dapat kujangkau.

“Gak pernah bisa sama kesempatan kita yang lowong acara,” kata Lala mendahului bicara ketika kutelepon. “Banyak acara bisnis dan banyak pengajian,” lanjutnya.

“Orang kaya sibuk Ya sudah, kita ngomong di telepon saja,” sahutku.

Kudengar Lala tertawa mengikik.

“Aku cuma ingin Lala bantu Om Ima “

Aku belum selesai bicara, Lala memotong.

“Ah, Om Ima udah beda, dia pindah jadi …. ituu “

“Lala ngomong apaan sich? Apanya yang beda? Pindah dari jadi apa ke jadi apaa?”

“Pokoknya beda Dia beda dengan kita sekeluarga.”

“Dari kita belum lahir sampe kita tua, Om Ima juga udah beda dengan kita. Tapi kan tetap om kita.”

“iiihhh Bukan itu. Dia udah menganut agama tapi beda dengan kita.”

“Ohh itu….. Soal keyakinan… Itu wilayah bebas merdeka tiap-tiap orang untuk berbeda pilihan yang diyakininya. Toh kita semua sama-sama mengabdi pada Zat Tuhan yang Satu, yang sama. Aku bukan mau bahas itu… Tapi mau minta Lala bantu Om Ima….
Saling bantu saling tolong, jangan pilih-pilih berdasar keyakinan.” “Udah sering kubantu. Kirim-kirim semampuku.”
“Yeee …Bukan uang. Menghina dia memberinya uang belas kasihan. Dia gak butuh uangmu. Jadi OKB jangan sombong, Lala.”

“Apaan sich? Terus aku mesti bantu apaa?”

“Lala lakukan sesuatu, yakinkan, bujuk, keluarga besar di kampung agar mau terima Om Ima pulang dan menjalani sisa umurnya di sana. Sudah lebih 70 tahun, sakit- sakitan pula. Itu angannya, kerinduannya. Mungkin dia mau menunggu saat pergi dengan tenang nyaman di tengah keluarga di kampung.”

“Waduh, itu beraat. Berat. Justru enggak bisa tenang. Bisa dikucil dan dikata- dikatain di sana. Semua sudah bilang menolak.”

“Lala sering menyumbang keluarga di kampung. Mereka pasti berubah kalau Lala yang minta,” aku agak mendesak.

“Gak ada celah. Aku gak bisa. Gak mampu bantu alirkan kerinduan yang ini. Angkat tangan. Dan mohon maaf. Kita hormati pilihan keyakinan Om Ima. Harusnya kita hormati juga sikap berbeda yang diambil keluarga di kampung.”

“Tega banget tuh orang-orang, menolak kehendak seseorang, keluarga pula, menetap kembali di kampung tempat kelahirannya, untuk mencoba nyaman pada sisa umurnya,” sungutku mulai kesal.

“Buat apa juga pusing dengan tempat hidup dan mati. Sendiri dan tersisih tak bisa dijawab dengan melarikan diri ke dalam tempurung. Om Ima mestinya terus aktif saja melukis lagi. Siapa tahu ada kolektor gila kelak menggilai karyanya. Tuh temannya sesanggar, yang melukis celeng adalah tiran, ‘kan sama dulu juga dari penjara ke penjara. Sekarang jadi hebat. Dihormati orang. Lukisannya mahal. Kehormatan harus diperjuangkan. Aku belajar dari Mama. Mestinya dia kuat seperti Mama. Om Ima terlalu banyak lihat kaca spion sich. Mandeg daya kreasinya karena selalu meratapi masa lalu.

“Hei Lala, cerewet. Stop ceramah. Om Ima ‘kan tetap melukis. Ada kolektor yang tampung lukisannya. Bukan perihal itu aku meneleponmu. Intinya, mau apa tidak bantu Om Ima diterima pulang tinggal di kampung? Dia mau kerja melukis di kampung.”

“Gak bisa. Berat. Pokoknya Om Ima jangan cengeng, deh.” Kemudian ‘jeb’—Lala menutup telepon.
Buntu. Mentok sudah. Nasib Om Ima. Sendiri. Dan tersisih.

Setelah perjumpaan di TIM itu, dan percakapan telepon dengan Lala, lama tidak terdengar kabar berkenaan dengan Om Ima, Uwak maupun tentang suami Uwak. Sampai seorang teman menelepon. Temanku SMP dan SMA, tetangga beberapa rumah dari rumah Uwak. Dan ia seorang dokter. Sang dokter berkisah mengenai Lala yang membeli rumah besar milik tetangga Uwak. Lalu tembok pemisah dirubuhkan. Lantas rumah kecil dan besar itu sama-sama direnovasi dan digabung jadi satu menjadi rumah dengan banyak ruang yang jembar. Halamannya pun jadi lebih lapang.

“Memangnya kenapa, Pak Dokter? Bagus dong Si Lala. Mencoba meraih kembali masa kecil riang berkecukupan yang dulu seketika terenggut. Inisiatif anak berusaha bikin suasana hidup nyaman agar Mama Papanya jadi sehat dan berbahagia,” ujarku merespon cerita sang dokter.

“Iya, bagus. Orang tua Lala kelihatan memang happy sekarang. Tadinya aku mengincer rumah itu. Eh keduluan Lala,” sahut dokter.

“Tuan ini dokter atau pedagang jual beli properti?” Kudengar dia tertawa berderai sembari memaki.

“Pak Dokter mestinya sesekali bantu periksa kesehatan beliau berdua. Kan sudah pada uzur tuh,” kataku.

Berkeliling seputaran kota ini telah mengapungkan hampir semua halaman- waktuku kala bocah dan belia. Perkisahan ini adalah sepuing dua-puing dari halaman itu yang dapat ku ceritakan. Ada sepercik luka dan perih. Mungkin setangkup kegetiran. Ada secercah elan dan harapan. Barangkali setangkup optimisme. Semua itu—lazimnya kehidupan—adalah latar yang melengkapi kesementaraan.(Bersambung)