Puing-Puing Waktu oleh Muchlis Dj.Tolomundu (8)

TUJUH BULAN setelah pemilu 1971 kami sekeluarga pindah ke kota provinsi. Ikut Ayah pindah tugas. Bertemulah aku dengan anak-anak bekas komandan yang ditahan itu. Kami sekolah di tempat yang sama. SMP dan SMA. Ibu mereka kupanggil Uwak. Itu aturan dari Ibuku. “Uwakmu enam tahun lebih tua dari Ibu.”

Aku sering mampir main di rumah kecil Uwak lantaran Anom, teman sebangku di SMP, kerap memintaku untuk menemaninya. Dia menaksir Lala, anak Uwak yang seumur aku. Lincah bergaul. Berlaku dan bertutur manis pada semua orang. Belia ini pandai pula menulis surat. Banyak teman terpesona. Mereka menganggapnya serupa Yessy Gusman, bintang film remaja kondang kala itu. Menurutku, Yessy lah yang mirip Lala. Berbeda dengan kakak maupun adiknya, Lala tak tampak inferior di tengah pergaulan murid sekolah favorit.

Uwak bekerja apapun yang mungkin demi hidup dan sekolah enam anaknya. Acapkali kutemui sedang menyulam, menjahit atau membuat kue. Juga memasak pesanan tetangga dan kenalan. Kenduri di rumah keluarga jarang tanpa sentuhan tangannya di dapur.”Yang penting anak-anak sehat, Uwak cukupkan kebutuhannya, dan bisa sekolah,” ujarnya.

Aku cuma mengangguk.

“Kamu tahu, nak…Uwak ibarat setir mobil tanpa kaca spion. Mobil khusus, telah Uwak copot persneling mundurnya. Lantas untuk apa kaca spion? Jangankan penumpangnya, sedangkan Uwak yang nyetir pun sudah tak perlu lihat samping dan belakang lagi.”

Kembali aku mengangguk. Dan mengucap, “Iya Uwak.”

Kuperhatikan tubuh Uwak makin lama kian ringkih. Tampak bagiku kepedihan menderanya. Betapapun ia terlihat berusaha selalu senyum. Sembari menyulam kadang turut mengobrol dan tertawa riang bersama teman-teman anaknya. Baju hangat tebal di badannya, kulihat seperti kukuhnya ketabahan membungkus lara dan perih.

Suami berpangkat overste mendadak sontak tidak lagi bisa bersama oleh sebab yang tak pernah Uwak tahu sebelumnya. Hidup berkecukupan sebagai anak istri komandan seketika terenggut, yang tak pernah ia duga akan mengalaminya. Anak bungsu terombang-ambing antara cap tak pernah tumbuh dewasa dengan stigma berkelainan mental, yang tidur berpindah-pindah dari satu rumah kerabat ke kerabat lainnya.

Dengan segala daya upaya Uwak dapat menyelesaikan lima anaknya sampai tamat sekolah menengah atas. Setiap ada anaknya lulus, segera ia berupaya mendapatkan pekerjaan. Hanya seorang yang dapat menjadi pegawai negeri. Itupun dengan akrobat memohon dengan air mata kepada istri jenderal yang menjabat gubernur—bekas atasan suami Uwak.

Adalah keajaiban Uwak dapat bertahan menghidupi sekeluarga. “Martabat dan kehormatan, kalau itu masih penting, kita sendiri yang menentukannya, yaitu oleh yang kita lakukan dalam menjalani hidup ke depan. Kalau ada cibir dan cemooh, biarkan saja. Itu pasti terhadap masa lalu dan keadaan kita saat ini. Kalian anak-anakku, ingat ya, bangunan masa lalu kita sudah rubuh. Telah melakukan apa Papamu dan Om kalian, dua laki-laki itu, Mama pun tak tahu. Apalagi kalian. Jangan pernah menoleh ke belakang. Mulai sekarang Mama yang pimpin ini keluarga. Kita susun bata demi bata bangunan masa depan kita. Apapun yg kita capai, yang lebih penting adalah kita sudah berusaha sebaik-baiknya usaha. Kelak waktu yang membuktikan.” Begitulah Lala menulis kepadaku dalam salah satu suratnya mengisahkan tentang sikap dan pendirian Ibunya.

Aku merasa, Uwak adalah pejuang. Pahlawan berani hidup. Dengan keteguhan luar biasa, ia bertahan atas beban yang mengepungnya. Juga menghindar dan melawan kepedihan yang hari ke hari mengiris dan mencabiknya. Bukan saja suami dan adik lelaki telah diringkus darinya. Tetapi nyaris kehidupan di tubir jurang itu menggilas dan mengkremusnya.

Adik Uwak, kukenal sebagai Om Ima Hamanda. Begitu ia meminta namanya harus dieja. Bukan cuma Ima Haman. Itu kata seorang ponakannya, anak Uwak.

Haman, nama ayahnya. Tak jelas sebab ia menambah dua huruf pada nama ayahnya, yang ia terakan sebagai nama belakang dirinya. Mungkin—aku sekadar menduga, lantaran keyakinan ayahnya yang seringkali dipertanyakan dan didebat oleh Om Ima.

Pak Haman seorang guru sekolah menengah negeri. Ia menikah dengan sepupu Kakek. Sama dengan Kakek, Pak Guru Haman adalah pengagum seorang berkemeja putih lengan pendek, berkacamata dan berkopiah, yang pernah disebut Kakek sebagai “Perdana Menteri yang menyatukan Indonesia ketika hampir bubar” itu.

Belakangan aku tahu Om Ima adalah seorang pelukis alumnus ASRI Yogyakarta, satu dari lima orang pada awal 1960an mendirikan sanggar seni lukis berpengaruh— bahkan hingga saat ini. Ia ditahan, kemudian dimulailah, yang belakangan setelah bebas disebutnya, “hewan dari penjara ke penjara—tempat kemanusiaan telah hendak coba dipunahkan.”

Dibebaskan 1977 dari tempat tahanan terakhir, jauh di sebuah pulau kecil, terbawa pulang bersamanya: TBC kronis. Jalan pun sudah tak mampu. Ia ditandu.

Berselang setahun atau hampir dua tahun sesudah Om Ima, bebas pula kakak iparnya, sang bekas komandan eksekusi di hutan jati. Pada sekitar saat pembebasan itu, Lala lulus SMA dan berkeras melanjutkan belajar ke universitas di Jawa. Bersikukuh pada kehendaknya, sekukuh Uwak membesarkannya. Dengan bantuan famili, akhirnya Uwak dapat biaya untuk berangkatkan Lala.

Om Ima sudah tampak cukup sehat ketika kebetulan bertemu saat aku mengunjungi Uwak dalam kesempatan mudik liburan kuliah. Tak banyak bicara, Om Ima cuma bergumam, “Di penjara, dari penjara ke penjara, Om diperlakukan jadi hewan. Kemanusiaan dinistakan.” Kemudian menyingkir, berjalan tertatih menuju kamar tidur. Ia tak menanti tanggapan atas ucapannya.

Kabar yang menggembirakan Uwak dan suami—yang terbaring sakit—serta anak- anaknya, akhirnya datang. Lala diwisuda sebagai sarjana.

“Yang ini melebihi cantik ibunya waktu muda,” dengan airmata tertahan begitulah Ibu memuji Lala ketika datang sowan setelah wisuda sarjana.

Pada awal 1990an di teras Wisma Seni TIM, Cikini, Jakarta, aku berpapasan dengan Om Ima.

“Ehhh, Om Ima… Sehat yaa,” seruku spontan—tak menduga bertemu dengannya pada sebuah pagi berkilau cerlang mentari.

Kami ternyata sama menginap di wisma yang bertarif 50 ribu perak per orang per malam itu.

“Iya… Beginilah. Lumayan,” jawabnya. Senyumnya tampak hanya segaris.

Kami berpelukan. Terasa olehku tipis tubuhnya. Dan bergetar. Kupikir tinggal semangat yang membuatnya kuat bertahan. Kulihat itu pada sorot matanya.

“Kembali melukis, Om?”

“Itulah enerji hidup ini. Tapi begini ya… Sudah belasan tahun di luar penjara. Memang bebas… Tapi terasa masih… masih digantung … terutama lantaran … apa itu
…kehormatan yang belum pulih,” ujarnya patah-patah.

Aku jadi merasa canggung. Kehilangan kata-kata untuk merespon Om Ima.

“Ayo Om, kita pulang kampung,” ujarku sekenanya. “Mungkin di kampung bisa ..”

“Om memang ingin pulang,” sahutnya menyambar kalimatku yang masih diawang- awang. “Tapi…Semua membenci. Tak seorang pun keluarga dan kerabat di sana yang mau terima Om pulang.”

“Eh Om, lahir di sana ‘kan tidak mesti mati dan bermakam di sana,” ujarku. Dia terkekeh. Terdengar getir.(Bersambung)