Puing-Puing Waktu Oleh : Muchlis Dj.Tolomundu (4)

SERAPAT itu pertemanan kami, tak terdengar ada yang saling membicarakan karnaval truk berkibaran kelambu. Tidak juga ada yang bertanya, misalnya di mana anak- anak Om Sepatu dan anak-anak Om Baju kemudian bersekolah. Mereka teman kami satu TK, sebagian yang tak pernah bertemu lagi denganku setelah karnaval truk berkibaran kelambu.

Dari sisi pagar tempatku berdiri, kelambu tampak masih di pelupuk mata, melambai-lambai. Ranjang di kamar di manakah mereka dulu lalu merangkai kembali kelambu itu?Masih berdiri di sisi pagar, sesaat aku terkesiap.

Seketika ingatanku mengapungkan kembali sepenggal cerita yang sempat kudengar saat klas 2. Tentang komandan yang berkuasa memerintahkan penangkapan orang-orang, termasuk yang dibawa ke hutan jati. Belakangan, setelah pindah ke ibukota provinsi, justru komandan ini yang ikut ditangkap. Dipecat. Ditahan. Tidak lama sebelumnya, adik ipar komandan telah juga ditahan di Jawa.

Istri komandan dan adiknya adalah kerabat Ibuku. Anak-anak komandan tentu familiku. Kudengar Ibu dan Ayah bicara, sudah terima kabar bahwa anak-anak serta istri komandan dalam keadaan aman. Dan mereka dipindahkan dari rumah komandan ke rumah yang lebih kecil.

Sedikit yang kudengar mengenai adik istri komandan, dia ikut bersama kakaknya sejak SMP sampai SMA. Berpindah-pindah kota karena pindah tugas suami kakaknya. Selulus SMA, pisah dari kakaknya, dia ke Jawa untuk belajar melukis.

AKU MASIH di sisi pagar rumah di pojok tenggara perempatan. Kulihat Arman agak menjauh, duduk di atas dinding got. Kakinya menjuntai di saluran tak berair.

“Arman,” kataku mencelahi kebisuan. “Dulu, di halaman rumah kami ini,” aku menunjuk pekarangan di belakang punggungnya, “terpancang empat, mungkin lima, papan kampanye satu partai.”

“Partai apa?” tanya Arman menatapku.

“Tegak berdiri cuma dua hari,” sahutku tak hirau pertanyaannya. “Tiang dan papan kampanye partai itu dicabut, diangkat dari tanahpancangnya. Kemudian dilempar ke atas truk.”

Kelumit ingatanku tentang diringkusnya papan kampanye ini sungguh masih segar belaka. Saat itu aku sudah klas 5 SD. Setelah truk berlalu membawa papan kampanye, kusaksikan beberapa tetangga datang bergegas. Lantas gerutuan marah bersahutan. Entah kepada siapa dituju. Makian, umpatan dan cacian berkelebatan saling tubruk pada suasana kerumunan.

Tidak berselang lama, datang seorang yang semua dalam kerumunan mengenalnya. Ia Pak Abu Bedo, pedagang hasil bumi dan ternak. Ayah Rais, temanku sekelas. Terkaya dari enam orang kaya di kabupaten ini—lima lainnya pun adalah adik kandung dan para sepupunya.

Dari mobilnya, menurutku itu mobil terbaik di kota kami— bahkan lebih baik dari mobil bupati, ia turun dengan mata yg tampak merah. Air mukanya muram sangat. Lilitan sarungnya pun tidak kencang dan tak beraturan hingga ujung bawah lingkar sarungnya tinggi dan rendah. Tampak ia datang dengan terburu-buru.

“Datupa rawi lako doho ke…” Terucap dari bibirnya yang dower terlontar umpatan murka sekasar yang bisa memuaskannya.

Kepada siapa orang-orang tua itu melontarkan serapahnya? Yang bisa kuduga ialah kepada para peringkus papan kampanye. Tetapi aku sungguh tak bisa menebak siapa para peringkus. Dan untuk apa mereka melenyapkan papan kampanye.

Aku juga tidak tahu kelanjutan setelah amarah yang memuncak itu. Kerumunan itu beranjak bubar oleh gema azan maghrib.

Di pojok baratdaya dari perempatan adalah masjid raya kota ini.Menempati satu blok seluas dua kali lapangan bola. Ketika azan senja itu menggema, kerumunan orang tua dengan amarah tadi beriringan menuju masjid.

Di masjid itukah amarah melanjut? Atau mereda?( To Be Continued)