Puing-Puing Waktu oleh Muchlis DJ.Tolomundu (2)

Hari-hari berikutnya adalah hari-hari tatkala tiada lagi berondongan teriakan lagu dari gerombolan yang berkeliling.

Jauh waktu kemudian aku tahu, saat itu adalah hari- hari menjelang ujung tahun 1965. Pada sekitar waktu itu, kerap pada hari sudah berbungkus malam, Ayah pergi dengan jip hanya berdua dengan supir. Kata Ayah, harus ke hutan jati. Jauh di luar kota. Kami—ibu, aku dan adik—tinggal di rumah dijaga petugas. Namanya, Pak Kus. Mulai hadir menjaga—dan tak pernah pergi, setelah tidak ada lagi rombongan yang berkeliling melantangkan nyanyiannya.

Sejak itu ia menempati satu ruangan di luar rumah induk, di sisi garasi. Menyusul hadir dan tinggal di kamar di teras belakang adalah Yusuf. Ia berasal dari pedalaman. Murid SMP di dekat rumah. Bersama kawan-kawannya sering berbaris dan berteriak di jalanan mencari rombongan yang menyanyikan lagu tak kukenal.

Pernah terdengar olehku, Ayah menjelaskan pada Ibu, bersama banyak yang lain ia mendapat tugas harus ke hutan jati. “Hadir untuk lihat orang yang ditangkap,” kata Ayah. “Banyak orang sudah diringkus.”

Mengingat itu, aku tercenung. Masygul. Terpaku menepi di sisi pagar halaman rumah. Rumah masa silam di pojok tenggara perempatan. Aku diam termangu.

TATAPANKU kemudian beralih ke sebentang jalan lebar di depan rumah. Di jalan ini pada satu siang melintas beriringan banyak truk. Hari itu, seingatku, tak berapa lama setelah Pak Kus mulai menjaga rumah kami.

Dalam iringan truk terbuka yang melintas terlihat orang-orang dan berbagai barang menumpuk. Mereka, orang-orang yang sering ku jumpai di toko tempatnya berdagang, melayani pembeli.

Kukenal raut mereka. Dua kali dalam seminggu aku dan adik diajak Ayah ke kawasan pertokoan di sebelah barat istana kesultanan. Mampir belanja di toko pakaian dan toko kue. Atau makan cap cay enak dan mie kuah sedap di restoran. Juga ke pembuat sepatu yang selalu bercelana pendek. Sepatu dan sandalku dibuat oleh tangannya. Aku menyapa mereka, ‘Om Sepatu’, ‘Om Restoran’, atau ‘Om Toko Baju’—sesuai jenis usahanya.

Siang itu, om-om bersama keluarganya, istri dan anak-anaknya—sebagian temanku di TK. Mereka duduk di atas barang dalam truk yang bergerak perlahan. Sebagian berdiri menempel di dinding tepi bak truk. Ada Om yang cuma mengenakan singlet. Tante yang berdaster. Tak ada yang melambai. Hanya menatap. Mereka berjejal dengan barang-barang. Kain warna warni serta kelambu putih berkibar melambai diterpa angin keluar dari tumpukannya.

Orang-orang dari rumah di sepanjang tepi jalan berhamburan keluar mendengar deru iring-iringan truk yg melintas. Mereka menyeruak, hiruk pikuk. Serupa tatkala menonton pawai karnaval perayaan kemerdekaan.( To be Continued)