Puing-Puing Waktu

PUING PUING WAKTU (1)
Cerita oleh Muchlis Dj. Tolomundu

BERSIPONGANG anganku mengais kembali keping-keping artefak dari beberapa peristiwa kala bocah di kota kelahiranku. Telah kusaksikan terjadi dan kudengar Ayah Ibu membicarakannya dengan para tamu. Ketika itu belum dapat kumengerti sebab- musabab terjadinya. Kemudian ujungpangkal dan duduksoal kisahnya sudah tersibaklah oleh waktu. Namun impresi kebocahanku atas serpihan dari kejadian itu hingga selanjut ini usiaku tidak jua kunjung selesai mengusik.

Itulah yang membawaku kembali berkunjung ke kota ini.

Dari bandara seorang famili mengantarku menyusuri jalan datar berkelok. Mengikuti garis pantai di pesisir timur teluk. Panoramanya dulu memesona. Kini tak membuatku terpukau. Kami menuju sebuah perempatan di pusat kota. Dua ratus meter arah timur laut istana kesultanan. Lalu lintas sedikit mobil dan sepeda motor bersilang arah di sekitar. Arman Jauhar, yang mengantarku, menepikan mobilnya di depan pagar halaman rumah pada pojok tenggara dari perempatan. Bangunan rumah tampak sudah berbeda sama sekali. Halaman luas yang ditumbuhi aneka bunga dan pepohonan, tempatku berkemah dan berkuda, semua telah punah. Namun utuh dalam terawangan ku.

Terekam jelas bentuk lama rumah itu. Bahkan perabotnya, warna kayunya dan susunannya. Dari semuanya, meja makan lah yang mendominasi kenangan ku.
Ya meja makan besar terbuat dari kayu hitam itu. Kolongnya cukup luas, bisa menampung kasur tidur untuk Ibu dan dua bocah. Di sanalah kami mengungsi tidur. Dalam remang, seringkali gelap. Setiap malam. Malam yang berulang-ulang. Malam- malam yang diberondong derap tapak banyak orang.

Suara dentang pagar halaman yang dipukul dengan besi dan batang kayu. Dan pekik serombongan lelaki perempuan yang meneriakkan lagu entah apa.
Cercah cahaya sebatang lilin yang tegak di lantai tak kuasa mengenyahkan rasa tercekam itu. Listrik dimatikan, kata Ibu, agar kami di dalam rumah tidak terlihat oleh gerombolan yang selalu berkeliling mengendus dan bernyanyi lantang. Mereka menyusuri jalan di komplek dengan meneriakan lagu yang selalu sama. Asing dalam pendengaranku. Tidak pernah diajarkan Ibu Sinaga, guru TK kami. Setiap mulai terdengar lagu dari barisan itu, Ibu meraih aku dan adik dalam pelukannya. Sekarang, saat ini, kurasakan pelukan dekapan Ibu laksana pendar cahaya paling terang pada gulita kala itu. Ketika malam terteror pekik nyanyian tak kukenal dan dentang pagar terhantam besi.(bersambung)