Aset dan Kawasan
Oleh: M.Firman (dosen pasca sarjana Unram)
Nampaknya masalah aset antara Kabupaten dan Kota Bima segra tuntas. Lega, konon tanpa kompensasi. Kabupaten Bima memang hrs lapang dada, serahkan aset ke anak kandung, tanpa konpensasi. Masuk akal.
Masalah aset krusial. Apalagi saat pandemi. Daerah minim anggaran, penerimaan pajak anjlok, dunia usaha tdak bertumbuh.
Semua aset yang dimiliki, baik ditempati pemda maupun dikelola pihak ke-3 perlu diliat kembali. Bagaimana kabarnya, berapa nilainya saat ini, apa berkontribusi rasional, apa perjanjian kerja sama perlu diadendum, dan apa yang bisa dimanfaatkan ke depan.
Intinya, aset harus punya manfaat lebih tuk daerah dan masyarakat. Dari yang kecil sampai yang besar. Bila perlu tuk dikerjasamakan, segera rancang beauty kontesnya.
Kabupaten dan Kota memang harus sering satu meja, kelola ekonomi. Bil khusus aset.
Kalau ada lahan luas, Kota baiknya jangan buat lahan tuk bahan baku, pertanian atau peternakan. Serahkan ke kabupaten. Kota baiknya buat kawasan industri, jasa sentra dagang. Pun kabupaten demikian. Fokus dipenyediaan bahan baku.
Kota itu sentra ekonomi, pusat peredaran uang, pusat konsumen. Kota dapat mendesain apa, untuk siapa dan dimana (spasial). Dan baiknya jangan saling menggantikan (subtitusi), tapi saling melengkapi (komplementer).
Perlulah Bagi2 kawasan tuk jadi sentra apa. Supaya bangun tidak jomplang, berat kiri ringan kanan. Kalau org butuh baju adanya dilokasi A, bahan bangunan di lokasi B, kawasn kuliner di lokasi C. Semua bisa terangkat.
Mataram juga awalnya gitu, walau lama sedikit bergeser. Kalau mau beli alat2 berat, grosir dan bengkel ada di sweta, kuliner ada di sayang sayang, beli baju, sepeda, mainan anak ada di cakranegara. Hidup itu kawasan sekitar, krn bergantinya kebutuhan masyarakat setiap waktu.
Terkadang yang bikin bergeser karena ada toko serba ada atau tanpa jelas peruntukan. Orng beli bahan tuk bengkel misalnya tdk jauh2, Lokasinya malah di kawasan kuliner. Mati kawasan untuk alat bengkel, beserta ekosistem bisnisnya.
Mumpung belum terlalu jauh, mohon dalam RTRW perlulah diatur supaya setiap titik kota jadi pusat kunjungan krn punya kareteristik. Dan, harus ada minimal satu yang unik dan diskenariokan tuk dikenal.
Misalnya, malioboro di Jogja, Pasar glodok dan tanah abang Jakarta. Kute di Bali, Mandalika di Lombok.
Tidak ada yang tidak bisa bila duduk bareng. Tentu kita bahagia, Kabupaten dan Kota tetap akur tuk bahas kesejahteraan rakyat Bima Raya. Dimulai dari kelola aset. Saya kira itu.