Inilah kisah perjalanan seorang Irwansyah Al Khariem Bachmis.
Yang dikisahkan oleh Irwansyah...
Jakarta, Harianamanat.com,- 22 juli 1981, esok hari, aku di lahirkan dari seorang ayah yang bernama Abdul karim ( Ince Kero ), disebuah desa terpencil, yang bernama desa mpuri ( madapangga bima, NTB), masa kecil aku tidak ada bedanya dengan masa kecil anak-anak desa lainnya, dimana dulu kami belum mengenal yang namanya game mobile atau game yang ada di ponsel. Tidak seperti sekarang anak kecil sudah banyak yang menggunakan ponsel pintar, bahkan bermain media sosial.
Dimasa kecil aku adalah anak yang cenderung iseng, dan cengeng ( cepat menangis ) bila di bully atau di jahili teman-teman sepermainanku yang lainnya. Bila ditengah permainan bersama teman-temanku ketahuan menangis oleh sang ayah, siap-siaplah aku akan kena damprat ( omelan )nya,
” ana dou au si ma oci nangi ndake, ka siwe weki ake”. ( Jangan cengeng, seperti perempuan saja )
Mendengar omelan seperi itu dengan sekuat tenaga aku berusaha menahan tangisan walau dengan mulut cengengesan di hadapan teman-temanku. Permainan karet ( oro gata ), permainan kemiri ( oro ka leli ), kelereng ( mpa,a kaneke ) adalah beberapa permainan yang bila aku kalah, dipastikan di akhir permainan aku akan menangis seketika karena tak terima kalah.
Bila permainan itu di lakukan di halaman rumahku, biasanya teman-teman yang menang akan mengembalikannya sebagian kelereng, kemiri atau karet kepadaku, entah karena memamg mereka baik atau takut ketahuan sang ayahku.
Waktu kecil tepatnya waktu SD ( SDN Mpuri) aku bersekolah bersama teman-temanku yang lainnya seperti Gafur , Obe Atin ama la Ozhiel.
kami melalui hari-hari kami layaknya anak SD lainnya, penuh dengan kegembiraan dan juga candaan renyah ala anak-anak.
Berangkat sekolah dengan tas hasil jahitan tangan sang ibu berupa kain bekas karung terigu, namun sesampai disekolah buku tulis di dalamnya bila sudah dikeluarkan ke atas meja untuk di pakai menulis, sejam atau dua jam kemudian buku tersebut sudah tak layak di pakai akibat terkena keringat yang entah bagaimana mengalir keluar dari telapak tanganku. Bahkan sang guruku ( ibu
Nurmi Muhammad ) dan guru lainnyapun heran kenapa bisa terjadi seperti itu.
Tak bisa menulis dengan baik di atas buku, bukan berarti aku tak dapat membaca dan menyerap mata pelajaran dari sang guru kala itu, alhamdulillah aku bisa terus mendapatkan rangking kelas di urutan ke 2, jika tidak salah ingat pernah di salip oleh (gafur) sahabatku, namun kami berdua tak pernah mampu mendahului kejeniusan sahabat kami yang lainnya Najatin Sutamah ( Obe ) sang juara kelas tanpa tanding. Dan di waktu upacara pun kami bertiga masing-masing mendapat tugas tetap , Obe sebagai pemimpin upacara, gafur pembawa teks pancasila mendampingi pak pembina upacara, dan aku sebagai pembaca undang-undang ( UUD 45 ).
Sepulang sekolah, biasanya kami isi dengan naik gunung mencari kayu bakar di gunung-gunung sekitar desa kami, membawa bekal nasi dalam bungkusan daun pisang, ikan teri ( uta karamba), air minum, garam, micin, cabe, buah asam dan bila di gunung menemukan sejenis dumu loa ( daun pintar ), dumu sambi , akan di ambil sebagai tambahan racikan lauk pauknya disana.
Lagi-lagi aku anak cengeng, tak seperti kawan-kawan lainnya yang jago mencari kayu bakar, lalu pulang dengan gundukan kayu yang sangat banyak untuk di bawa pulang, sedangkan aku biasanya hanya mampu bawa pulang kayu yang jumlahnya sedikit.
Dalam perjalanan pulang karena aku tak pandai dalam memanggul bahkan ikatan kayunya pun longgar, tak jarang di tengah perjalanan pulangpun akan terjatuh dan buyar jatuh berantakan, yang akhirnya merepotkan teman-temanku yang lainnya untuk mengikat ulang kayu-kayu tersebut ( terima kasih sobat-sobatku sungguh kebersamaan yang sangat indah).
Dan pernah kejadian, dalam masa liburan sekolah, karena terlalu pagi kami naik gunung, tiba-tiba kami berhadapan dengan segerombolan babi hutan, semua panik mendengar suara gerombolan babi tersebut, lalu masing-masing semuanya mengambil posisi bersembunyi di balik batu besar ( Rengge ), di hadapan saya ada 2 atau 3 ekor babi hutan, yang jika saat itu mereka melihatku bisa saja aku diserang, tapi alhamdulillah aku aman, tapi aku tetap ketakutan.
Begitu babi-babi itu berjarak dari posisiku, aku mengambil langkah seribu, lari sekencang-kencangnya untuk turun gunung. Sedangkan teman-teman lainnya tetap bertahan di atas, hingga mereka turun membawa kayu bakar, sedangkan aku tak memiliki keberanian untuk kembali mendaki gunungnya. ( hehehe aku paling takut sama babi dan ular kala itu).